Sebuah Novel; Elegi Berkasih di Bandar Darussalam {5}



Sebuah Novel;

"Elegi Berkasih di Bandar Darussalam"

Karya; Syukri Isa Bluka Teubai



-{({ 18 })}-

Balai Bambu Beratap Rumbia
***

Awan semakin bertambah abu abu, adalah sebuah pertanda, bahawa langit mahu menumpahkan akan hujan, kilat juga petir, yangmana itu merupakan beberapa bahagian daripada isi yang terkandung di dalamnya, selain bulan, bintang, planet planet dan segala sesuatu lainnya yang dikandung langit itu.

Senantiasa akan langit akan menumpahkan air ke dunia ini, apabila sudah pada waktunya, tak kala bumi tengah gerah, lat batat kayee batee, tak kala semua yang ada di bumi menginginkan akannya pada pelepas dahaga daripada kepenatan yang tengah dirasa.

Akan rahmat dan nikmat daripada Allah SWT, akan tuhan sang pencipta semesta, yang begitu indah, sangat sangatlah banyak sekali nikmat dunia yang sudah diberikan-Nya secara percuma, tiada manusia yang akan mampu untuk mengukurnya, mensyukurinya walau dengan apapun itu.

Sungguh anugerah yang begitu berlipat lipat, berganda ganda setiap kali, setiap detik di dalam waktu, selalu diberikan Allah Ta’ala secara percuma kepada ummatnya, tiada pernah sekalipun meminta akan bayaran.

Tiada pernah menuntut akanpada balasan daripada semua nikmat, rahmat dan dari segala yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada setiap makhluk makhluk yang sudah ciptaan-Nya, tersebut, tiada pernah.

“Aku ini seorang manusia!”

“Adalah manusia ini diciptakan Allah dengan sebaik baik rupa.”

“Adalah akal sebagai pertanda, sebagai pembeda bahagi setiap kita yang merasa, manusia,” Aziz berguman sendiri, sembari menggaruk garuk akan kepalanya di bahagian samping di atas daun telinga kirinya dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah, jari manis dan jari kelingking tangan kirinya.

Di atas sebuah balai bambu beratap rumbia, berlantaikan pohon pinang yang sudah dibelah belah dan telah pula dirapikan segi seginya, supaya dirinya dan siapa sahaja yang akan meletakkan tubuh kasar mereka itu di atas lantai balai tersebut tidaklah tersaruk akan dirinya itu.

-{({ 19 })}-

Balai berukuran tiga kali empat meter setiap seginya, yang berada di hadapan kanan masih di dalam pekarangan rumahnya, tempat itu bak panggung piasan dan masih termasuk ke dalam serambi akan huniannya tersebut. Di situlah lelaki penyuka sastra itu, kini  tengah bersantai.

Di temani sepiring kecil daripada beberapa penganan seperti ketela, pisang yang sudah direbus, segelas kopi hitam kental manis dan di tangan kanannya ada sebuah buku bacaan. Sesekali ia menolehkan akan wajahnya itu ke arah buku tersebut.
     
Juga sesekali ia menatap ke arah langit malam, gelap berkabut hitam namun langit itu masih terang bercahaya walau gemintang tidak menghiasi cakrawala pada sa’at dirinya tengah berada di atas balai bambu beratap rumbia itu.

“Saya memulai sesuatu daripada kehidupan ini dengan susah payah yang orang orang lain juga pasti begitu.”

“Beraktifitas, mencari rezeki, berdo’a, meraih akan cita cita, membuat bahagia ibu dan ayah, keluarga dan sebagainya, sama.”

“Semua manusia juga akan melakukan kesamaan yang demikian di dalam hidupnya,” Aziz kembali berguman sendiri, lapik daripada buku itu dielus elus dengan tangan kanannya.

“Dan, ketika diri ini menginginkan akanpada sebuah kehidupan yang berbeda, maka saya melakukan itu.”

“Mencari sekalian pembeda yang bisa membuat diri saya bisa ada, nampak nyata di mata manusia dunia ini.”

“Menulis,ya, saya menulis, adakala berkarya dan melakukan apa sahaja yang bisa, yang mudah untuk dilakukan oleh manusia itu sendiri demi menjadi pembeda diantara yang lain.”

“Kerana melakukan sesuatu apalagi pada yang berkaitan tersebut berkenaan dengan hobi sendiri adalah hal yang tidak susah untuk dilakukan, bahagi siapa sahaja, saya merasa seperti itu pada diri sendiri.”

“Juga oleh adanya kemauan di dalam kehidupan dan saya memulai untuk menjadi beda dari yang lainnya adalah dengan menulis,” ia tidak lupa untuk merekam setiap apa yang keluar daripada kata kata dari mulutnya, adalah kebiasaanya begitu jika lelaki itu tengah sendiri. Ia akan merekam segala ucapannya dengan alat canggih zaman kini miliknya itu.

-{({ 20 })}-

Balai yang ada di dalam pekarangan, yang masih menjadi bahagian daripada serambi rumahnya tersebut, merupakan tempat bahagi dirinya untuk menghabiskan akan waktu waktu bila ia tengah berada di kediamannya.

Adakala itu siang mahupun di malam hari, ia sudah menjadi seorang lelaki yang jarang keluar daripada rumahnya. Jarang untuk menghabiskan akan masa masanya kepada kelalaian yang tiada berarti, duduk berlama lama di kedai kopi tanpa melakukan apa apa, sudah bukan hobinya lagi.

Semisal duduk berlama lama di kedai kopi bukan untuk bersilaturrahmi, menulis, membuat tugas kampus, berdiskusi atawa membaca dan bukan kerana ada kegiatan lainnya di tempat keramaian tersebut, akanlah menjadi hal yang sia sia belaka, waktu waktu akan terbuang percuma, menurutnya kini.

Bukan kerana ia tak pernah berlama lama di kedai kopi, akan tetapi di kala dirinya masih melajang, masih sendiri sebelum ia menikah, dahulu. Adalah kedai kopi bagai rumah kedua bahaginya, datang di pagi hari dan pulang tak kala malam sudah di sepertiganya.

Begitulah erat adanya akan hubungan emosionalnya dengan kedai kopi, itu dulu. Sebelum lelaki penyuka sastra tersebut berkeluarga. Akan pemuda itu saban waktu beraktifitas di kedai kopi, adalah untuk menulis, membaca dan semacamnya. Namun sekarang ini justru sudah menjadi sebaliknya, salah satu penyebab dasar adalah kerana sudah menikah.

“Tidak adalah kebahagian, akannya keutamaan di dalam pernikahan, di dalam sebuah rumah tangga apabila tidak selalu, setiap sa’at saling bersama, bercengkrama ria dengan perempuan pujaan yang ia sudah sepenuhnya halal bahagi kita selagi waktu masih bisa diajak bicara,” itulah pedomannya dahulu, sebelum dirinya menikah.

Sekarang pemuda itu sudah tidak lajang lagi, maka dilakukanlah apa yang sudah dicita citakannya semenjak dahulu, ia banyak menghabiskan akan waktu waktunya di rumah dan pula oleh kerana adanya pekerjaan yang sangat mendukung dari apa yang sudah lama diharapkannya itu.

-{({ 21 })}-

“Menulis di kedai kopi itu sangat asyik, terutama jika kita mahu minum dan makan, hanya berkata sahaja kepada rakan, tukang layan yang ada di sana, semua akan disediakan di atas meja.”

“Juga apabila kita membutuhkan apa apa hanya bangun sebentar dari tempat duduk, beranjak ke tempat di mana sesuatu yang dibutuhkan itu berada, lalu kembali duduk lagi.”

“Maka saya suka berlama lama di sana, dahulu. Saban hari berada di kedai kopi, bahpun uang tak ada di kantong,” pemuda tersebut masih sahaja memutar memorinya akanpada kedai kopi sembari menyambung lagi akan kata katanya, buku yang tengah bersamanya itu masih dielus elus lapiknya dengan tangan kanannya.

“Dulu, saya kurang peduli perihal uang, ada atawa pun tidak benda itu di dalam saku, diri ini tak pernah merasa risau tak kala berada di kedai kopi, misalnya hari ini berhutang, kapan ada uang akan membayarnya.”

“Lagi pula kedai yang sering saya kunjungi tersebut sudahlah menjadi tempat langganan, kerana sudah saban hari berada di sana.” Gumannya tak kala ia mengingat akanpada kedai kopi.

Ia masih sahaja sendiri di atas balai bambu beratap rumbia berlantaikan pohon pinang yang sudah dibelah belah dan dirapikan segi seginya. Sekarang ini, akan kedai kopi yang merupakan tempat lain selain daripada Meunasah dan balai balai Pengajian.

Yangmana di meunasah, balai balai pengajian tersebut sering berkumpulnya setiap orang orang yang ada di tanah para aulia, akan ulama dan tengku tengku, di tanah para raja raja yang di pinggang hadapan tubuhnya tersemat akan rencong, akan pusaka indatu moyang.

Setelah ia menikahi akan gadis pujaannya itu, akan kedai kopi tersebut hanyalah dikunjunginya di akhir pekan sahaja, akan lelaki penyuka sastra tersebut berkunjung ke tempat itu hanya di penghujung daripada hari Senin, Selasa, Rabu Kamis dan Jum’at.

Bersambung.....



Nantikan kisah selanjutnya, semoga novel pertama saya ini, berkenan di hati anda semuanya.

Terimakasih untuk yang sudah mahu membacanya!

Hormat Saya; Syukri Isa Bluka Teubai.
Banda Aceh, 10 Mey 2018. 

Post a Comment

0 Comments