"Elegi Berkasih di Bandar Darussalam"
Karya; Syukri Isa Bluka Teubai
-{({ 13 })}-
Awal Bermula Daripada Pertemuan
***
Azis pun
berlalu, pergi meninggalkan Rambo yang belum mendapat akan jawaban apa apa darinya.
Karibnya tersebut hanya bisa menggeleng geleng kepala sahaja, wajahnya nampak
memelas, kuyu, dipenuhi tanda tanya sembari beberapa kalimat keluar dari mulut
bimbangnya.
“Tuhan.”
“Adakah sebuah kesalahan yang sudah
kulakukan hari ini.”
“Kenapa hambamu itu.”
“Kenapa hambamu itu (hamba yang ia maksud
adalah Azis) tidak menjawab pertanyaanku, ia tidak open padaku, Tuhan.”
“Ia tak peduli pada pertanyaanku.”
“Ia tak peduli pada pertanyaanku, Tuhan.”
“Aku sedih.”
“Aku ingin bunuh diri,”
“Kenapa hidupku begini!” Rambo menepuk
jidatnya, ia pun berlalu.
Azis
belum mahu untuk memberitahukan siapa siapa dahulu, sebelum akanpada sebuah
kejadian itu akanlah benar benar terjadi. Ia sangat tak suka apabila ada
sesuatu baik itu tentang apa sahaja, sebelum sebuah kejadian itu akan benar
benar, akanlah hal tersebut sudah dikatahui pasti olehnya, pasti akan berlaku
itu kejadian.
Barulah
ia mahu berkata, akan memberitahukan orang orang akanpada kejadian atawa berita
tersebut. Ramboe akan tahu jika sahaja Azis tengah punya masalah atawa ada hal
hal penting lainnya yang tengah berlaku pada karibnya tersebut.
Kerana
Azis bahkan keduanya itu sudahlah sering sekali bertukar tukar cerita, mereka adalah
kerabat karib. Bahpun pada sa’at ia bertanya tadi, Azis tak menjawab
pertanyaannya tak kala ia bertanya, perihal aura di wajah pemuda penyuka sastra
itu.
Yang
namun ia sudah bisa memahami bagaimana akan karibnya dan cepat atawa lambat
akan dirinya, akan pemuda yang suka sekali membuat setiap suasana di mana ia
tengah berada menjadi ramai oleh sesuatu yang ia lakukannya.
Di mana
mana tempat mereka berada baik itu di kedai kopi yang pengunjungnya begitu
padat ia tak peduli, akanlah Rambo tukang bikin suasana menjadi riuh. Ada
sahaja bahan candaannya yang dapat membuat rakan rakannya bahkan bisa tertawa
terpingkal pingkal, adalah kerana sesuatu yang dibuatnya.
-{({ 14 })}-
Ia sudah
paham tentang bagaimana akan karibnya tersebut, maka tak kala Azis tak menjawab
pertanyaannya, dirinya itu tak ambil pusing, malahan lagi ia membuat sebuah
lelucon, seakan akan ia begitu menyesali akan perbuatannya.
Seolah
olah apa yang dilakukannya atas pertanyaan yang ditanyanya kepada Azis itu
adalah perbuatan yang salah, seolah olah ia sudah melakukan sebuah kesalahan
yang besar. Dan perlu diketahui bahawa
akanpada kata katanya;
“Tuhan?”
“Adakah sebuah kesalahan yang sudah
kulakukan hari ini.”
“Kenapa hambamu itu.”
“Kenapa hambamu itu (hamba yang ia maksud
adalah Azis) tidak menjawab pertanyaanku.”
“Ia tidak peduli pada pertanyaanku,
Tuhan.”
“Ia tak peduli pada pertanyaanku.”
“Aku sedih.”
“Aku ingin bunuh diri.”
“Kenapa hidupku begini!”
Akanpada kata katanya yang berkaitan dengan
persoalan itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah ungkapan tersebut, murni dari
gurauannya. Dan juga kerana memang cepat atawa lambat apa
yang tengah disembunyikan oleh Azis.
Apa yang
belum dijawab oleh karibnya itu, tentulah nantinya ia akan pasti tahu, pada apa
gerangan yang tengah melanda rakannya tersebut. Di malam Selasa itu, Azis memilih
untuk keluar dari kosan mereka.
Pemuda
penyuka sastra yang sudah menulis banyak puisi, lebih memilih untuk sendiri
dahulu, jantungnya terus berdenyut tak menentu. Akan Lela, dari pagi di hari
yang penuh kebimbangan sampai dengan malam harinya, satu pesan pun tak dikirim
kepada Azis.
Tidak
seperti hari hari biasa, sebelum sebelumnya dara tersebut pastilah akan
mengirim satu, dua, tiga, empat dan lima pesan singkat dalam sehari, begitu
juga yang dilakukan pemuda tersebut. Tapi hari ini, di hari yang sudah membuat
suasana hati Azis tak menentu, dari pagi sampai dengan sekarang.
Belum pun
ada tanda tanda dari Lela. “Adakah ia sudah lupa?” Guman Azis tak kala melirik
ke arah jam tangan yang ada di tangan kirinya tersebut, jarum pendek yang ada
di sana sudah menunjuk ke angka 11, begitu juga dengan jarum yang panjang sudah
menunjuk ke angka 5.
-{({ 15 })}-
Pukul dua
puluh tiga lewat dua puluh lima menit, kurang lebih setengah jam lagi akan
sampai pada pertengahan malam, iaitu jam 12 malam, yang namun Lela belum juga
memberinya khabar. Dirabalah ke dalam kantong celananya, ia nak ambil
handphonenya, tapi tak kunjung ditemui.
Sudah diraba
semua ke dalam setiap saku celana dan baju yang dipakainya, tak jua dijumpai
akan alat modern milik zaman ini. Bertambah pula gelisahnya, beberapa sa’at ia
baru ingat lagi bahawa ponselnya itu berada di dalam lemarinya.
Dengan sedikit
berlari kecil dan agak meloncat ia langsung masuk lagi ke dalam kosannya dan
tujuan utama adalah bilik tidur, kerana di sana hpnya kini. Ia meletakkan handphonenya
di lemari tak kala mahu menunaikan shalat isya, namun setelah shalat ia lupa
akan pada hpnya tersebut.
Handphonenya
kini sudah berada di tangannya, ia juga sudah di luar kosan lagi. Di hadapan
kosan mereka itu ada tempat duduk yang sudah dipermak layaknya sebuah taman
kecil, Azis tengah berada di situ. Ia melihat layar hpnya sesudah dibuka
keypadnya adalah di sana gambar amplob di atas ujung kanan layar hpnya.
“Abang, tak pun merespon sms adek.” Pesan
itu sudah masuk pada pukul 22:51 WIB.
“Abang, jahat sekali.” Pesan itu sudah masuk
pada pukul 22:00 WIB.
“Tega Abang, buat adek malu.” Pesan itu sudah
masuk pada pukul 21:20 WIB.
“Abang, itu jawaban adek, ya?” Pesan itu sudah
masuk pada pukul 21:00 WIB.
“Ana, uhibbuka aizdhan, ya akhi, Azis.” Pesan
itu sudah masuk pada pukul 20:11 WIB.
Beberapa
sa’at kemudian, hpnya bergetar lagi. sebuh pesan singkat dari Lela, masuk lagi
ke inboxnya. “Ya sudahlah, abang, adek mahu tidur dulu, ya? Mungkin abang
tengah sibuk!” Tak lagi ditunggu lama, seketika pemuda itu menelepon sang
pujaan yang mereka kini sudah sama sama saling menyintai, hubungan itu kini sudahlah
resmi.
Tak kala
bercakap cakap melalui sambungan telepon dengan Lela, dara Matang Glumpang Dua,
terlihat sudah akan wajah daripada pemuda penyuka sastra tersebut, sudahlah berseri
seri kembali. Berseri, indah bercahaya bak bulan penuh, bak lima belas hari
bulan.
Keduanya sudahpun
membuat sebuah kesepakatan lagi, yang ini berkenaan dengan hari, di mana mereka
akan saling bertatap mata, bertemu muka antara keduanya untuk kali pertama
sekali. Hari dan tempat pertemuan belum ditentukan, akanpada kesepakatan untuk
bertemu sudahlah disepakati.
“Lela?” Azis menyapa dara itu, pohon Asam
Jawa menjadi saksi bisu, mereka bertemu di samping jalan simpang Tujuh Ulee Kareng
menuju Cot Iri.
-{({ 16 })}-
Di tepi
jalan tersebut mereka bertemu untuk kali pertama di kala waktu. Itulah awal
pertemuan antara keduanya, setelah sekian lama berhubungan lewat udara.
Akhirnya mereka bisa bertatap mata jua, keduanya kini sudah bertemu nyata.
“He, heeeee, hee, i, iya!” Lela menjawab.
Seorang rakan perempuan yang bersamanya itu pun ikut tersenyum. Lela tidak sendiri
pada waktu itu, ia ditemani oleh seorang rakan kampusnya, mereka juga satu
ruang kuliah, sama sama mengambil jurusan Progam Study Ilmu Keperawatan (PSIK) di
Abulyatama.
Bertatap
muka untuk kali yang pertama sekali, malu rasanya, keduanya. Berhingga
memunculkan rona, menjadi pewarna akanpada setiap wajah dan memerahlah jadinya,
Bersalaman, hanya bertutur dalam beberapa rangkai kata sahaja tiada lebih, lalu
pergi. Awal akanpada pertemuan itu telah pun terjadi.
Seketika
seperti terlupakan akanpada ribuan kata pada percakapan yang pernah terjadi
jika melalui handphone, cerita cerita terkisahkan dengan sendirinya. Itulah
pengalaman pertamanya mereka tak kala sama sama sudah berjumpa.
Tak kala
sama sama baru bertatap muka secara langsung dengan kekasih yang dulu hanya
tahu dan berhubungan lewat dunia maya. Adalah dara yang ia telah mengatakan
cinta, yangmana dara itu juga sudah menerima cintanya, sepekan sebelum mereka
berjumpa di kali yang pertama ini.
“Haha, malu juga ya, jika sudah bertemu
muka.”
“Apa mungkin kerana, ini baru kali
pertama?” Azis mengirim pesan singkat untuk Lela, setelah ia sampai di
kosannya.
“Hehe, mungkin,” Lela membalas sms itu.
Setelah ada balasan dari Lela, Azis pun menelpon dara tersebut. Percakapan pun
terjadi seperti kemarin kemarin.
Dua pekan
kemudian berjumpa lagi untuk kali yang kedua, sudah banyak rangka terangkai di
dalam susunan kata dan menjadikan itu cerita tiada habis habisnya. Keudanya itu
sepertilah rakan karib yang baru sahaja bertemu, setelah sekian lama berpisah. Mereka
itu berkisah akanpada banyak ragam berita dan cerita.
“Lela, mahu minum apa?”
“Hehehe, biasa aja!”
“Bang! Pesan biasa aja satu!” Azis
memesan pesanan Lela, ia seorang lelaki pecanda.
“Hei, abang, abang, shhhiiiiitttt.”
“Abang, apa apaan sih, abang ini.”
“Malu tau?” Lela mencubit geram akan Azis
yang berada di kursi di samping sebelah kanannya.
-{({ 17 })}-
“Haha,” pemuda pecanda itu, tertawa lepas.
Ia menepis nepis akanpada tangan Lela yang tengah mencubit cubit dirinya.
“Iya, iya apa?”
“Terserah abang ajalah, hehehe!” Setelah
memesan apa yang diperlukan, mereka kembali larut dalam cerita.
Tahun pun
kini sudah barganti, mereka tetap akur sahaja, jarang bertengkar, jarang ada
permasalahan diantara keduanya. Sama sama bisa menerima, sudah mengenal akan
watak dan prilaku masing masing, walaupun belumlah semuanya dari kepribadian
yang ada pada diri mereka itu sama sama diketahui.
Terlihat sudah
akan hubungan antara keduanya sepertinya tiada pernah akan terpisahkan oleh
penglihatan, manusia, zaman, oleh waktu, awan, matahari, bintang bintang,
bulan, laut, gunung, bahkan seluruh isi alam pun akan mengakui itu.
Nantikan kisah selanjutnya, semoga novel pertama saya ini, berkenan di hati anda semuanya.
Terimakasih untuk yang sudah mahu membacanya!
Terimakasih untuk yang sudah mahu membacanya!
Hormat Saya; Syukri Isa Bluka Teubai.
Banda Aceh, 04 Mey 2018.
0 Comments