Sebuah Novel; Elegi Berkasih di Bandar Darussalam {4}



Sebuah Novel;

"Elegi Berkasih di Bandar Darussalam"

Karya; Syukri Isa Bluka Teubai




-{({ 13 })}-


Awal Bermula Daripada Pertemuan
***

Azis pun berlalu, pergi meninggalkan Rambo yang belum mendapat akan jawaban apa apa darinya. Karibnya tersebut hanya bisa menggeleng geleng kepala sahaja, wajahnya nampak memelas, kuyu, dipenuhi tanda tanya sembari beberapa kalimat keluar dari mulut bimbangnya.

“Tuhan.”

“Adakah sebuah kesalahan yang sudah kulakukan hari ini.”

“Kenapa hambamu itu.”

“Kenapa hambamu itu (hamba yang ia maksud adalah Azis) tidak menjawab pertanyaanku, ia tidak open padaku, Tuhan.”

“Ia tak peduli pada pertanyaanku.”

“Ia tak peduli pada pertanyaanku, Tuhan.”

“Aku sedih.”

“Aku ingin bunuh diri,”

“Kenapa hidupku begini!” Rambo menepuk jidatnya, ia pun berlalu.         

Azis belum mahu untuk memberitahukan siapa siapa dahulu, sebelum akanpada sebuah kejadian itu akanlah benar benar terjadi. Ia sangat tak suka apabila ada sesuatu baik itu tentang apa sahaja, sebelum sebuah kejadian itu akan benar benar, akanlah hal tersebut sudah dikatahui pasti olehnya, pasti akan berlaku itu kejadian.

Barulah ia mahu berkata, akan memberitahukan orang orang akanpada kejadian atawa berita tersebut. Ramboe akan tahu jika sahaja Azis tengah punya masalah atawa ada hal hal penting lainnya yang tengah berlaku pada karibnya tersebut.

Kerana Azis bahkan keduanya itu sudahlah sering sekali bertukar tukar cerita, mereka adalah kerabat karib. Bahpun pada sa’at ia bertanya tadi, Azis tak menjawab pertanyaannya tak kala ia bertanya, perihal aura di wajah pemuda penyuka sastra itu.

Yang namun ia sudah bisa memahami bagaimana akan karibnya dan cepat atawa lambat akan dirinya, akan pemuda yang suka sekali membuat setiap suasana di mana ia tengah berada menjadi ramai oleh sesuatu yang ia lakukannya.

Di mana mana tempat mereka berada baik itu di kedai kopi yang pengunjungnya begitu padat ia tak peduli, akanlah Rambo tukang bikin suasana menjadi riuh. Ada sahaja bahan candaannya yang dapat membuat rakan rakannya bahkan bisa tertawa terpingkal pingkal, adalah kerana sesuatu yang dibuatnya.

-{({ 14 })}-

Ia sudah paham tentang bagaimana akan karibnya tersebut, maka tak kala Azis tak menjawab pertanyaannya, dirinya itu tak ambil pusing, malahan lagi ia membuat sebuah lelucon, seakan akan ia begitu menyesali akan perbuatannya.
        
Seolah olah apa yang dilakukannya atas pertanyaan yang ditanyanya kepada Azis itu adalah perbuatan yang salah, seolah olah ia sudah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Dan  perlu diketahui bahawa akanpada kata katanya;

“Tuhan?”

“Adakah sebuah kesalahan yang sudah kulakukan hari ini.”

“Kenapa hambamu itu.”

“Kenapa hambamu itu (hamba yang ia maksud adalah Azis) tidak menjawab pertanyaanku.”

“Ia tidak peduli pada pertanyaanku, Tuhan.”

“Ia tak peduli pada pertanyaanku.”

“Aku sedih.”

“Aku ingin bunuh diri.”

“Kenapa hidupku begini!”

 Akanpada kata katanya yang berkaitan dengan persoalan itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah ungkapan tersebut, murni dari gurauannya.   Dan juga kerana memang cepat atawa lambat apa yang tengah disembunyikan oleh Azis.

Apa yang belum dijawab oleh karibnya itu, tentulah nantinya ia akan pasti tahu, pada apa gerangan yang tengah melanda rakannya tersebut. Di malam Selasa itu, Azis memilih untuk keluar dari kosan mereka.

Pemuda penyuka sastra yang sudah menulis banyak puisi, lebih memilih untuk sendiri dahulu, jantungnya terus berdenyut tak menentu. Akan Lela, dari pagi di hari yang penuh kebimbangan sampai dengan malam harinya, satu pesan pun tak dikirim kepada Azis.

Tidak seperti hari hari biasa, sebelum sebelumnya dara tersebut pastilah akan mengirim satu, dua, tiga, empat dan lima pesan singkat dalam sehari, begitu juga yang dilakukan pemuda tersebut. Tapi hari ini, di hari yang sudah membuat suasana hati Azis tak menentu, dari pagi sampai dengan sekarang.

Belum pun ada tanda tanda dari Lela. “Adakah ia sudah lupa?” Guman Azis tak kala melirik ke arah jam tangan yang ada di tangan kirinya tersebut, jarum pendek yang ada di sana sudah menunjuk ke angka 11, begitu juga dengan jarum yang panjang sudah menunjuk ke angka 5.

-{({ 15 })}-

Pukul dua puluh tiga lewat dua puluh lima menit, kurang lebih setengah jam lagi akan sampai pada pertengahan malam, iaitu jam 12 malam, yang namun Lela belum juga memberinya khabar. Dirabalah ke dalam kantong celananya, ia nak ambil handphonenya, tapi tak kunjung ditemui.

Sudah diraba semua ke dalam setiap saku celana dan baju yang dipakainya, tak jua dijumpai akan alat modern milik zaman ini. Bertambah pula gelisahnya, beberapa sa’at ia baru ingat lagi bahawa ponselnya itu berada di dalam lemarinya.

Dengan sedikit berlari kecil dan agak meloncat ia langsung masuk lagi ke dalam kosannya dan tujuan utama adalah bilik tidur, kerana di sana hpnya kini. Ia meletakkan handphonenya di lemari tak kala mahu menunaikan shalat isya, namun setelah shalat ia lupa akan pada hpnya tersebut.

Handphonenya kini sudah berada di tangannya, ia juga sudah di luar kosan lagi. Di hadapan kosan mereka itu ada tempat duduk yang sudah dipermak layaknya sebuah taman kecil, Azis tengah berada di situ. Ia melihat layar hpnya sesudah dibuka keypadnya adalah di sana gambar amplob di atas ujung kanan layar hpnya.

“Abang, tak pun merespon sms adek.” Pesan itu sudah masuk pada pukul 22:51 WIB.

“Abang, jahat sekali.” Pesan itu sudah masuk pada pukul 22:00 WIB.

“Tega Abang, buat adek malu.” Pesan itu sudah masuk pada pukul 21:20 WIB.

“Abang, itu jawaban adek, ya?” Pesan itu sudah masuk pada pukul 21:00 WIB.    

“Ana, uhibbuka aizdhan, ya akhi, Azis.” Pesan itu sudah masuk pada pukul 20:11 WIB.

Beberapa sa’at kemudian, hpnya bergetar lagi. sebuh pesan singkat dari Lela, masuk lagi ke inboxnya. “Ya sudahlah, abang, adek mahu tidur dulu, ya? Mungkin abang tengah sibuk!” Tak lagi ditunggu lama, seketika pemuda itu menelepon sang pujaan yang mereka kini sudah sama sama saling menyintai, hubungan itu kini sudahlah resmi.

Tak kala bercakap cakap melalui sambungan telepon dengan Lela, dara Matang Glumpang Dua, terlihat sudah akan wajah daripada pemuda penyuka sastra tersebut, sudahlah berseri seri kembali. Berseri, indah bercahaya bak bulan penuh, bak lima belas hari bulan.

Keduanya sudahpun membuat sebuah kesepakatan lagi, yang ini berkenaan dengan hari, di mana mereka akan saling bertatap mata, bertemu muka antara keduanya untuk kali pertama sekali. Hari dan tempat pertemuan belum ditentukan, akanpada kesepakatan untuk bertemu sudahlah disepakati.

“Lela?” Azis menyapa dara itu, pohon Asam Jawa menjadi saksi bisu, mereka bertemu di samping jalan simpang Tujuh Ulee Kareng menuju Cot Iri.

-{({ 16 })}-

Di tepi jalan tersebut mereka bertemu untuk kali pertama di kala waktu. Itulah awal pertemuan antara keduanya, setelah sekian lama berhubungan lewat udara. Akhirnya mereka bisa bertatap mata jua, keduanya kini sudah bertemu nyata.

“He, heeeee, hee, i, iya!” Lela menjawab. Seorang rakan perempuan yang bersamanya itu pun ikut tersenyum. Lela tidak sendiri pada waktu itu, ia ditemani oleh seorang rakan kampusnya, mereka juga satu ruang kuliah, sama sama mengambil jurusan Progam Study Ilmu Keperawatan (PSIK) di Abulyatama.

Bertatap muka untuk kali yang pertama sekali, malu rasanya, keduanya. Berhingga memunculkan rona, menjadi pewarna akanpada setiap wajah dan memerahlah jadinya, Bersalaman, hanya bertutur dalam beberapa rangkai kata sahaja tiada lebih, lalu pergi. Awal akanpada pertemuan itu telah pun terjadi.

Seketika seperti terlupakan akanpada ribuan kata pada percakapan yang pernah terjadi jika melalui handphone, cerita cerita terkisahkan dengan sendirinya. Itulah pengalaman pertamanya mereka tak kala sama sama sudah berjumpa.

Tak kala sama sama baru bertatap muka secara langsung dengan kekasih yang dulu hanya tahu dan berhubungan lewat dunia maya. Adalah dara yang ia telah mengatakan cinta, yangmana dara itu juga sudah menerima cintanya, sepekan sebelum mereka berjumpa di kali yang pertama ini.

“Haha, malu juga ya, jika sudah bertemu muka.”

“Apa mungkin kerana, ini baru kali pertama?” Azis mengirim pesan singkat untuk Lela, setelah ia sampai di kosannya.

“Hehe, mungkin,” Lela membalas sms itu. Setelah ada balasan dari Lela, Azis pun menelpon dara tersebut. Percakapan pun terjadi seperti kemarin kemarin.  

Dua pekan kemudian berjumpa lagi untuk kali yang kedua, sudah banyak rangka terangkai di dalam susunan kata dan menjadikan itu cerita tiada habis habisnya. Keudanya itu sepertilah rakan karib yang baru sahaja bertemu, setelah sekian lama berpisah. Mereka itu berkisah akanpada banyak ragam berita dan cerita. 

“Lela, mahu minum apa?”

“Hehehe, biasa aja!”

“Bang! Pesan biasa aja satu!” Azis memesan pesanan Lela, ia seorang lelaki pecanda.

“Hei, abang, abang, shhhiiiiitttt.”

“Abang, apa apaan sih, abang ini.”

“Malu tau?” Lela mencubit geram akan Azis yang berada di kursi di samping sebelah kanannya.

-{({ 17 })}-

“Haha,” pemuda pecanda itu, tertawa lepas. Ia menepis nepis akanpada tangan Lela yang tengah mencubit cubit dirinya.

“Iya, iya apa?”

“Terserah abang ajalah, hehehe!” Setelah memesan apa yang diperlukan, mereka kembali larut dalam cerita.

Tahun pun kini sudah barganti, mereka tetap akur sahaja, jarang bertengkar, jarang ada permasalahan diantara keduanya. Sama sama bisa menerima, sudah mengenal akan watak dan prilaku masing masing, walaupun belumlah semuanya dari kepribadian yang ada pada diri mereka itu sama sama diketahui.

Terlihat sudah akan hubungan antara keduanya sepertinya tiada pernah akan terpisahkan oleh penglihatan, manusia, zaman, oleh waktu, awan, matahari, bintang bintang, bulan, laut, gunung, bahkan seluruh isi alam pun akan mengakui itu.

Dan ini bukan pada penglihatan hakikat daripada hakikat zat Sang Pencipta, bukan daripada hakikat-Nya. Cinta antara ada dan ada. Keduanya berkisah, keduanya sama sama tengah mengasihi. Akan cinta pemuda penyuka sastra, telah bersemi kini di Bandar Aceh Darussalam.




Nantikan kisah selanjutnya, semoga novel pertama saya ini, berkenan di hati anda semuanya.

Terimakasih untuk yang sudah mahu membacanya!

Hormat Saya; Syukri Isa Bluka Teubai.
Banda Aceh, 04 Mey 2018.

Post a Comment

0 Comments