Sebuah Novel; Elegi Berkasih di Bandar Darussalam {20}



Sebuah Novel;

"Elegi Berkasih di Bandar Darussalam"

Karya; Syukri Isa Bluka Teubai


-{({ 81 })}-

Mereka
***

Sebelum kutuliskan lagi sebuah kisah tentang kita
izinkan daku melukis sebuah angan, senyuman
di dalam hati sebenarnya aku tengah menangis 
walau di taman bunga jeumpa tengah bermekaran

Cinta, air mataku tak akan pernah bisa berhenti
senantiasa mengalir pabila kuingat tentangmu
tentangku tentang mereka dan semua
juga tentang anugerah daripada Allah SWT

Bila sahaja sa’at sa’at itu terkenang
basah hati ini sejuklah jiwa terasa
sampai air mata akan berlinang di pelupuknya
bila sahaja terkenang pada mereka

Mereka yang selalu membantu
mereka yang senantiasa meringkan bebanku
mereka mereka mereka yang berada dekat
selalu ada dalam susah apalagi bahagia

Bahpun pada sejenak waktu
pada tatapan mata
walau hanya setengah jam masa
terasa sangat akan keakrabannya

Azis Muhammad Zul, Banda Aceh, 20 Desember 2014.
Puisi ini kupersembahkan kepada kalian, kepada semua rakan rakanku.

*****

Suci Lela
aku suka nasehat nasehat darimu
seandainya aku punya harta yang berlimpah
akan kuhadiahkan engkau sebuah istana cinta
yang mampu mengalahi akan kemegahan Taj Mahal

Tapi, apa daya aku kini hanya seorang manusia biasa
aku masih seorang bujang yang tak, belum berada
hanya cinta dan keberanian yang aku punya
tak kala mendekatimu, tak kala menaruh asa pada dirimu, dahulu

-{({ 82 })}-

Canda tawa, merayu, geli
bercengkrama kita dalam cerita
aku dan kamu
seakan perjumpaan itu sangatlah lama

Jika sahaja pada perjumpaan yang sebenarnya
nanti itu akankah bagaimana?
semoga sahaja Allah SWT
memberkahi kita dan pertemuan ini!  

Sayang, di sa’at engkau berada
di dekatku kehangatan terasa
sekalian prasaku bergetar
senangnya duhai aku dalam bahagia

Bila kukenang akanpada masa
tak kala kita tengah bersama
mataku berkaca kaca
terasalah pertemuan sebelumnya

Inginku mengulang lagi akan sebuah masa
yang baru sahaja berlalu
meninggalkanku dalam keagungan rasa
sayang menyayangi, mengasihi

Andai sahaja bisa kuulang lagi
sa’at sa’at kita tengah bertatap mata
seketika membawaku
kepada arah pandang yang memandang

Belumlah ada yang lainnya
aku teringat lagi
aku terharu lagi
sa’at sa’at awal kita bertemu muka, Lela.

***

“Ini, kata kata yang seperti ini, apa namanya, bang?”

-{({ 83 })}-

“Tolong, berilah adek, jawabannya.”

“Hei, kamu, duhai tukang perayuku.”

“Kenapa kamu masih diam sahaja, kenapa?

“Dara, yang selalu engkau rayu dahulu, setiap detik di waktu terus kaurayu dirinya, kini, dara itu menginginkan sebuah jawaban darimuuu, hek, hek, hek, hhmmmmmmm, gerammmmm, gerammmmm!” Lela bertanya manja dalam candanya, ia juga geram tiba tiba pada Azis, akan kekasih yang sudah halal bahagi satu sama lainnya itu.

Yangmana di kesempatan waktu mereka berdua masih sahaja berada di atas Balai Bambu beratap rumbia yang lantainya dibuat dari pohon pinang yang sudah dibelah belah dan sudah dirapikan segi seginya.

Lela yang tiba tiba geram, pun menyelipkan sebuah cubitan, pelan mendarat di daging yang ada di pinggang sebelah kanan tubuh pemuda penyairnya yangmana dirinya, kini tengah berada di dalam pangkuan, Suci Lela tengah berada di dalam hangatnya sebuah kehangatan dari pada dekapan akan lelakinya itu.

Bahpun daranya tengah, sudah berlaku seperti demikian yang namun akan Azis tidak begitu peduli pada perlakuan istrinya itu, ia semakin mengeratkan sahaja pelukannya ke tubuh daranya sembari malanjutkan bacaan, kerana pun ia tahu bahawa istrinya tersebut sengaja mencandai dirinya yang tengah, lagi serius membaca sebuah novel.

Yangmana kisah di dalam novel tersebut menceritakan tentang kisah kasih keduanya, iaitu Azis Muhammad Zul seorang pemuda penyair yang berasal dari kampung Bluka Teubai dan Suci Lela seorang dara ceudah kampung, Raya Dagang, Matang Glumpang Dua. Mereka tengah mengulang cerita pada sebuah elegi cinta di kala waktu.
  
Akanpada sajak atawa akanpada puisi begitu juga dengan jenis tulisan yang lain, setiap sa’at pasti akan ditulis jika ada kejadian tertentu, atawapun tak kala sesuatu itu mengesankan bahaginya. Azis Muhammad Zul nama lengkapnya pemuda penyair tersebut.

-{({ 84 })}-

Adalah sebuah buku, pulpen, ke mana mana ia pergi akan mencatat sesuatu ke buku tersebut tidak peduli jika pun di tengah keramaian, lahir dan dibesarkan di Bluka Teubai, sebuah kampung yang rata rata penduduknya pelaut, sampai pada umur dua belas tahun sahaja ia menetap di kampung pesisir tersebut.

Adalah Azis setelah tamat pada sekolah dasar yang ada di kampungnya itu, lalu ia disekolahkan ke sebuah dayah modern yang tempat tersebut jauh daripada kampung yang sepertiga daripada warga yang ada di sana merupakan nelayan.

Yangmana akan warga kampungnya itu bekerja juga sebagai petani garam, petani tambak, tukang bangunan, pengolah batu bata, pekerja swasta dan hanya satu persen sahaja akan orang orang yang berada di daerah pesisir tersebut yang pekerjaan mereka itu pegawai negeri sipil (PNS).

Adalah satu persen sahaja daripada mereka yang menjadi pegawai di kantor kantor yang ada di pusat kecamatan Dewantara iaitu keude Krueng Geukuh, sekalian orang kampungnya itu berekonomi sekelas menengah ke bawah, di masa.

Begitu juga dengan mereka yang menjadi guru, hanya ada satu dua orang sahaja akan warga tersebut yang pekerjaannya itu sebagai guru pns di sekolah sekolah yang masih berada di kecamtan Dewantara, yang masih di dalam jangkauan kampungnya itu.

Azis kecil saban masa menghabiskan akan waktu di setiap hari hari yang berlaku itu adalah di pantai, sungai dan tambak, berenang menjadilah akan kebiasaan bahkan sudah menjadi satu keahlian dasar bahagi anak anak yang tinggal di daerah pesisir.

Maka tidak jarang daripada mereka mereka itu mempunyai bentuk badan yang bagus lagi tinggi jika sudah remaja apalagi telah dewasa. Bersabablah daripada sering berolah raga gratis, iaitu mereka sering berenang di laut, sungai dan tambak.  

Dengan kesederhanaannya, pemuda yang kini sudah menjadi penulis dan penyair yangmana puisi puisinya itu sudah tersebar ke beberapa negara luar, seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand dan Singapura.

-{({ 85 })}-

Azis Muhammad Zul tidak, ia bukan berasal dari keluarga kaya, orang tuanya pekerja swasta, ayahnya hanyalah seorang petani garam yangmana sang ibu, merangkap sebagai penjual, ibunya Azis adalah seorang penjual garam.

Ibunya itulah yang menjual hasil daripada garam rebus milik mereka di hari hari pekan di daerahnya, ibunya itu niscaya akan terlihat, nampak berjualan di deretan para ibu ibu penjual garam di keude Krueng Geukuh, di setiap hari Minggu.

Namun dirinya punya sebuah cita cita yang sangat luar biasa besar di dalam hidupnya, walaupun dirinya seorang anak dari petani garam, bukan berarti tidak boleh punya sebuah keinginan di dalam hidupnya, tidaklah musti.

Pemuda penyuka sastra itu mempunyai sebuah tekad yang kuat bahpun dengan latar belakang seorang anak kampung bukanlah berarti tidak boleh menjadi siapa siapa, bukanlah sudah berarti tidak harus bercita cita, seperti mereka.

Bahpun tinggal dan dibesarkan di kampung pesisir, dahulu, yang namun kini, dirinya sudahlah menjadi seorang yang berjiwa modern akan tetapi hukum agama, atas apa yang sudah digariskan oleh Allah SWT, ia masih sangat berpegang teguh kepada semua dasar dasar hukum hukum islam tersebut.

Tutur katanya lembut, berwibawa ianya walau sekalipun tak pernah menyuruh orang, siapa sahaja mereka itu untuk menghormati dirinya. Azis yang kini sudah berjiwa seorang seniman dan tak pernah berhenti berkarya keranalah mahunya.

Akan pemuda kampung itu nak sekali untuk, bisa dikenang oleh sekalian masyarakat dunia hingga tak berhingga, sepanjang zaman ini bermasa. Kerana juga daripada dasar cita citanya, dahulu, yang ia mempunyai sebuah pencapaian yang musti harus dicapainya dan sebahagian daripada itu sudahlah diraihnya di dalam hidupnya, kini. 

Bersambung.....


Nantikan kisah selanjutnya, semoga novel pertama saya ini berkenan di hati anda semua.

Terimakasih untuk yang sudah mahu membaca.

Hormat Saya; Syukri Isa Bluka Teubai.
Banda Aceh, 23 Mey 2018.

Post a Comment

0 Comments