Sebuah Novel;
"Elegi Berkasih di Bandar Darussalam"
Karya; Syukri Isa Bluka Teubai
-{({ 81 })}-
Mereka
***
Sebelum kutuliskan lagi
sebuah kisah tentang kita
izinkan daku melukis
sebuah angan, senyuman
di dalam hati
sebenarnya aku tengah menangis
walau di taman bunga jeumpa tengah bermekaran
Cinta, air mataku tak
akan pernah bisa berhenti
senantiasa mengalir pabila
kuingat tentangmu
tentangku tentang mereka
dan semua
juga tentang
anugerah daripada Allah SWT
Bila sahaja sa’at sa’at
itu terkenang
basah hati ini
sejuklah jiwa terasa
sampai air mata akan
berlinang di pelupuknya
bila sahaja
terkenang pada mereka
Mereka yang selalu
membantu
mereka yang
senantiasa meringkan bebanku
mereka mereka mereka
yang berada dekat
selalu ada dalam
susah apalagi bahagia
Bahpun pada sejenak waktu
pada tatapan mata
walau hanya setengah
jam masa
terasa sangat akan
keakrabannya
Azis Muhammad Zul,
Banda Aceh, 20 Desember 2014.
Puisi ini
kupersembahkan kepada kalian, kepada semua rakan rakanku.
*****
Suci Lela
aku suka nasehat nasehat
darimu
seandainya aku punya
harta yang berlimpah
akan kuhadiahkan
engkau sebuah istana cinta
yang mampu mengalahi
akan kemegahan Taj Mahal
Tapi, apa daya aku kini
hanya seorang manusia biasa
aku masih seorang bujang
yang tak, belum berada
hanya cinta dan keberanian
yang aku punya
tak kala
mendekatimu, tak kala menaruh asa pada dirimu, dahulu
-{({ 82 })}-
Canda tawa, merayu,
geli
bercengkrama kita dalam
cerita
aku dan kamu
seakan perjumpaan
itu sangatlah lama
Jika sahaja pada perjumpaan
yang sebenarnya
nanti itu akankah
bagaimana?
semoga sahaja Allah
SWT
memberkahi kita dan pertemuan
ini!
Sayang, di sa’at engkau
berada
di dekatku kehangatan
terasa
sekalian prasaku
bergetar
senangnya duhai aku
dalam bahagia
Bila kukenang akanpada
masa
tak kala kita tengah
bersama
mataku berkaca kaca
terasalah pertemuan
sebelumnya
Inginku mengulang lagi
akan sebuah masa
yang baru sahaja
berlalu
meninggalkanku dalam
keagungan rasa
sayang menyayangi,
mengasihi
Andai sahaja bisa kuulang
lagi
sa’at sa’at kita
tengah bertatap mata
seketika membawaku
kepada arah pandang yang
memandang
Belumlah ada yang
lainnya
aku teringat lagi
aku terharu lagi
sa’at sa’at awal kita
bertemu muka, Lela.
***
“Ini, kata kata yang seperti ini, apa
namanya, bang?”
-{({ 83 })}-
“Tolong, berilah adek, jawabannya.”
“Hei, kamu, duhai tukang perayuku.”
“Kenapa kamu masih diam sahaja, kenapa?
“Dara, yang selalu engkau rayu dahulu,
setiap detik di waktu terus kaurayu dirinya, kini, dara itu menginginkan sebuah
jawaban darimuuu, hek, hek, hek, hhmmmmmmm, gerammmmm, gerammmmm!” Lela bertanya
manja dalam candanya, ia juga geram tiba tiba pada Azis, akan kekasih yang sudah
halal bahagi satu sama lainnya itu.
Yangmana di
kesempatan waktu mereka berdua masih sahaja berada di atas Balai Bambu beratap
rumbia yang lantainya dibuat dari pohon pinang yang sudah dibelah belah dan
sudah dirapikan segi seginya.
Lela yang
tiba tiba geram, pun menyelipkan sebuah cubitan, pelan mendarat di daging yang ada
di pinggang sebelah kanan tubuh pemuda penyairnya yangmana dirinya, kini tengah
berada di dalam pangkuan, Suci Lela tengah berada di dalam hangatnya sebuah kehangatan
dari pada dekapan akan lelakinya itu.
Bahpun
daranya tengah, sudah berlaku seperti demikian yang namun akan Azis tidak begitu
peduli pada perlakuan istrinya itu, ia semakin mengeratkan sahaja pelukannya ke
tubuh daranya sembari malanjutkan bacaan, kerana pun ia tahu bahawa istrinya
tersebut sengaja mencandai dirinya yang tengah, lagi serius membaca sebuah novel.
Yangmana
kisah di dalam novel tersebut menceritakan tentang kisah kasih keduanya, iaitu Azis
Muhammad Zul seorang pemuda penyair yang berasal dari kampung Bluka Teubai dan
Suci Lela seorang dara ceudah kampung, Raya Dagang, Matang Glumpang Dua. Mereka
tengah mengulang cerita pada sebuah elegi cinta di kala waktu.
Akanpada
sajak atawa akanpada puisi begitu juga dengan jenis tulisan yang lain, setiap
sa’at pasti akan ditulis jika ada kejadian tertentu, atawapun tak kala sesuatu
itu mengesankan bahaginya. Azis Muhammad Zul nama lengkapnya pemuda penyair
tersebut.
-{({ 84 })}-
Adalah
sebuah buku, pulpen, ke mana mana ia pergi akan mencatat sesuatu ke buku
tersebut tidak peduli jika pun di tengah keramaian, lahir dan dibesarkan di Bluka
Teubai, sebuah kampung yang rata rata penduduknya pelaut, sampai pada umur dua
belas tahun sahaja ia menetap di kampung pesisir tersebut.
Adalah
Azis setelah tamat pada sekolah dasar yang ada di kampungnya itu, lalu ia
disekolahkan ke sebuah dayah modern yang tempat tersebut jauh daripada kampung yang
sepertiga daripada warga yang ada di sana merupakan nelayan.
Yangmana akan
warga kampungnya itu bekerja juga sebagai petani garam, petani tambak, tukang
bangunan, pengolah batu bata, pekerja swasta dan hanya satu persen sahaja akan
orang orang yang berada di daerah pesisir tersebut yang pekerjaan mereka itu pegawai
negeri sipil (PNS).
Adalah
satu persen sahaja daripada mereka yang menjadi pegawai di kantor kantor yang ada
di pusat kecamatan Dewantara iaitu keude Krueng Geukuh, sekalian orang
kampungnya itu berekonomi sekelas menengah ke bawah, di masa.
Begitu
juga dengan mereka yang menjadi guru, hanya ada satu dua orang sahaja akan
warga tersebut yang pekerjaannya itu sebagai guru pns di sekolah sekolah yang masih
berada di kecamtan Dewantara, yang masih di dalam jangkauan kampungnya itu.
Azis
kecil saban masa menghabiskan akan waktu di setiap hari hari yang berlaku itu
adalah di pantai, sungai dan tambak, berenang menjadilah akan kebiasaan bahkan
sudah menjadi satu keahlian dasar bahagi anak anak yang tinggal di daerah pesisir.
Maka
tidak jarang daripada mereka mereka itu mempunyai bentuk badan yang bagus lagi
tinggi jika sudah remaja apalagi telah dewasa. Bersabablah daripada sering berolah
raga gratis, iaitu mereka sering berenang di laut, sungai dan tambak.
Dengan
kesederhanaannya, pemuda yang kini sudah menjadi penulis dan penyair yangmana
puisi puisinya itu sudah tersebar ke beberapa negara luar, seperti Malaysia,
Brunai Darussalam, Thailand dan Singapura.
-{({ 85 })}-
Azis
Muhammad Zul tidak, ia bukan berasal dari keluarga kaya, orang tuanya pekerja
swasta, ayahnya hanyalah seorang petani garam yangmana sang ibu, merangkap
sebagai penjual, ibunya Azis adalah seorang penjual garam.
Ibunya itulah
yang menjual hasil daripada garam rebus milik mereka di hari hari pekan di
daerahnya, ibunya itu niscaya akan terlihat, nampak berjualan di deretan para ibu
ibu penjual garam di keude Krueng Geukuh, di setiap hari Minggu.
Namun dirinya
punya sebuah cita cita yang sangat luar biasa besar di dalam hidupnya, walaupun
dirinya seorang anak dari petani garam, bukan berarti tidak boleh punya sebuah keinginan
di dalam hidupnya, tidaklah musti.
Pemuda penyuka
sastra itu mempunyai sebuah tekad yang kuat bahpun dengan latar belakang
seorang anak kampung bukanlah berarti tidak boleh menjadi siapa siapa, bukanlah
sudah berarti tidak harus bercita cita, seperti mereka.
Bahpun tinggal
dan dibesarkan di kampung pesisir, dahulu, yang namun kini, dirinya sudahlah
menjadi seorang yang berjiwa modern akan tetapi hukum agama, atas apa yang
sudah digariskan oleh Allah SWT, ia masih sangat berpegang teguh kepada semua dasar
dasar hukum hukum islam tersebut.
Tutur
katanya lembut, berwibawa ianya walau sekalipun tak pernah menyuruh orang,
siapa sahaja mereka itu untuk menghormati dirinya. Azis yang kini sudah berjiwa
seorang seniman dan tak pernah berhenti berkarya keranalah mahunya.
Akan
pemuda kampung itu nak sekali untuk, bisa dikenang oleh sekalian masyarakat
dunia hingga tak berhingga, sepanjang zaman ini bermasa. Kerana juga daripada
dasar cita citanya, dahulu, yang ia mempunyai sebuah pencapaian yang musti
harus dicapainya dan sebahagian daripada itu sudahlah diraihnya di dalam
hidupnya, kini.
Bersambung.....
Nantikan kisah selanjutnya, semoga novel pertama saya ini berkenan di hati anda semua.
Terimakasih untuk yang sudah mahu membaca.
Hormat Saya; Syukri Isa Bluka Teubai.
Banda Aceh, 23 Mey 2018.
0 Comments