Sebuah Novel;
"Elegi Berkasih di Bandar Darussalam"
Karya; Syukri Isa Bluka Teubai
-{({ 34 })}-
Balai Bambu Beratap Rumbia
***
Lelanya
itu tidak diizinkan untuk bekerja di mana mana tempat, kecuali bekerja di rumah
untuk dirinya, anak anaknya dan cukup di syurga dunianya sahaja tempat bahagi
sang istri itu untuk menghabiskan masa masanya, tidak di tempat yang lain.
Juga
kerana, perempuan tersebut bisa dan pandai menjahit, sebuah mesin jahit niscaya
menemani waktu waktu senggangnya. Walaupun terus di rumah tidaklah pernah
bahpun untuk sekali kesempatan sahaja bisa membuat dirinya bosan.
Banyak
kegiatan yang dilakukannya, jika dibandingkan dengan mengurus suami dan anak,
lebih banyak lagi akan waktu itu dihabiskan olehnya dengan pekerjaan pekerjaan
yang membuat diri dan hatinya bahagia.
Namun mengurus
suami dan anak anaknya adalah keutamaan daripada kebahagian yang dirasakan oleh
perempuan penyanyang tersebut, akan kebahagian itu tidak didapatinya daripada
hal hal yang lain selain mengurus rumah tangganya.
Bahkan ia
sekalipun tak pernah melayangkan protes pada suaminya, walau akan kampus di
mana dirinya dahulu pernah kuliah, beberapa kali sudah meminta akan kesediannya
untuk mengajar di sana, di jurusan keperawatan.
“Saya, seorang perempuan dan sudah
menjadi seorang istri yang sangat beruntung.”
“Kerana tidaklah pernah salah dirinya, akan
lelaki yang suka mengajariku banyak hal, ia memang seorang yang luar biasa lagi
baik hatinya.”
“Cintaku hanya akan selalu untuknya,
namun cintaku kepada Tuhan adalah tetap yang utama, terlebih lagi kerana Allah
SWT sudah mengirimkan daku seorang lelaki yang sangat menyayangiku, anak anakku
dan sekalian keluarga kami.”
“Bang Azis, abang selalu bisa membuat
adek terus terusan, perdetik mencintaimu,” gumannya tak kala mengingat akan
segala daripada kebaikan yang sudah berlaku terhadap dirinya.
-{({ 35 })}-
Oleh
kerana akan lelaki pilihan hatinya itu, tidaklah salah ia memperjuangkan
cintanya dahulu untuk Azis Muhammad Zul, lelaki kampung yang suka menulis
bahpun dirinya tidak punya banyak uang di kala waktu.
“Bang, Azis. Adek, sayangkan abang banyak
banyak,” adalah kata kata yang keluar dari mulut Lela tak kala ingatan pikirnya
bermuara kepada lelaki pilihan hidupnya yang selalu bisa membuat dirinya rindu,
ingin dibelai belai manja dan dipeluk oleh lelaki tersebut.
Aziz
tidak begitu suka kepada perempuan, akan istri yang bekerja di tempat lain selain
di rumahnya sahaja, ia merasa kasihan kerana perempuan tidak diharuskan mencari
nafkah, bukan tidak boleh untuk mencari nafkah, tapi tidak diharuskan mereka
itu begitu.
Lelaki
pujangga itu tidak menyukai akan istrinya jika harus bekerja dan berkeliaran di
luar rumah, kerana bahaginya sang istri itu tugasnya hanya mengurus,
membersihkan rumah, menjaga anak anak dan suaminya. Lagi pula ia sudah mampu
membiayai akan kebutuhan keluarganya sendiri, tanpa harus sang istri itu bekerja
di lain tempat.
Dan mungkin
sahaja ia masih menjadi seorang yang belum berperadaban, kerana tidak
mengizinkan perempuannya bekerja di luar rumah. Ia juga tidak mahu tahu tentang
apa itu kata mereka pada kata kata gender.
Dalihnya,
islam sedari dahulu teah menghargai perempuan, akan agama yang diridhai ini
sudah dari dahulu mengangkat akan derajat derajat kaum hawa tersebut tanpa
pengecualian. Memuliakan sekalian perempuan sudahlah dimulai dari awal
datangnya agama islam di atas muka bumi ini.
Tinggilah
sudah akan derajat daripada makhluk yang lemah gemulai dalam berperangai, mereka
sangat dihormati, dihargainya akan perempuan itu setelah dari pertama datangnya
islam tersebut. Setelah Muhammad SAW ada apalagi akanpada sesudah beliau diangkat
menjadi rasul Allah SWT.
Jika disidak
pada hukum yang sebenarnya hukum (islam) tidak adalah urusannya dengan yang
namanya gender, yang hanya baru kemarin, di sore hari kemarin itu baru sahaja diproklamirkan
oleh orang orang yang sok tahu pada hukum.
-{({ 36 })}-
Aziz
merupakan seorang pribadi yang sekali ia berkata tidak, maka sampai kapan pun apa
yang dikatakannya itu tetap akannya tidak. Begitulah pemuda pujangga, akan
keteguhan yang ada di dalam dirinya tersebut tidak akan pernah bisa
tergoyahkan, apalagi pada suatu hal yang berkenaan dengan hukum agama.
Hanya itu
yang selalu ia katakan pada Lelanya, dahulu, adalah pada hukum agama berpegangan
teguhnya, selalu akanpada perihal yang berkaitan dengan hukum hukum Allah SWT,
yang sampai sekarang ini, bahkan sampai dengan detik ini.
Akanpada hukum
tersebut ingin sekali dibuat samar samar oleh sekalian mereka para pembenci
islam, dan anehnya daripada kalangan pembenci tersebut adalah mereka itu yang
beragama dan bahkan sangat sangat pahamnya tentang islam itu sendiri.
Selalulah
itu (ia tak begitu suka akanpada perempuan apalagi nanti istrinya, bekerja di
luar rumahnya) yang senantiasa diingatkannya kepada daranya di kala waktu, berhingga
setelah pernikahan antara keduanya.
Sampai sa’at
ini niscaya tidaklah ada lagi akan hal hal yang perlu diributkan keduanya. Pun,
kerana sudah jelas sekalia bahawa islam sudah mengatur akan haq juga pada batas
batasannya yangmana seorang perempuan boleh berlaku. Begitu pula akan haqnya
bahagi seorang lelaki.
Berhinggalah
pada Lelanya yang tidak sekali pun pernah memprotes, mengadu pendapat atas pada
kebijakan yang ditawarkan, diharuskan oleh Azis suaminya tersebut untuk dirinya
di kala waktu. Dan apabila pun Lela nak meminta kepada sang kekasih yang sudah
halal bahaginya itu untuk bekerja di luar rumah.
Bukanlah
tak mungkin akan Azis mengizinkanya untuk bekerja diluar sana, hanya sahaja
Suci Lela istrinya itu tidak sekali pun pernah meminta kepadanya pada hal yang
demikian. Dara itu juga merupakan lulusan terbaik di kampusnya dahulu, istrinya
tersebut adalah seorang sarjana keperawatan bertittle Ners. Suci Laila S.Kep.
Beberapa
sa’at, akan kopi yang berada di dalam gelas berwarna putih bercampur sedikit
warna hitam di punggung, tepatnya kopi yang berada di dalam satu gelas dua
warna tersebut, yang kini tengah terletak di atas meja di hadapan kanannya.
-{({ 37 })}-
Diambillah
olehnya akan air yang tercampur itu lalu dengan perlahan diseruput, matanya
terpejam sejenak, suara kecil berdentap terdengar dari bibir mulutnya. Kemudian
buku bacaan yang sedari tadi ada di tangannya.
Kembali disentuh
akan buku tersebut yang sudah diletakkan di atas lantai balai bambu yang
terbuat dari batang pohon pinang yang sudah dibelah belah dan dirapikan segi
seginya buku itu diambil lagi setelah ditaruh sebentar tadi tak kala ia
menyeruput kopi hitam yang berada di dalam gelas dua warna tersebut.
Lalu dielus
elus semula akan sampul buku yang kini sudah berada di tangan kanannya, sebuah
senyuman indah yang penuh akan makna seketika merekah dari bibir mulutnya. Akan
senyuman itu bagaikan bunga yang mekar di taman hati.
Yang
sampai kapan pun masih, terus akan menjadi misteri kerana tak seorang manusia mana
pun, siapa sahaja ia itu bisa melihat bagaimanakah akanpada bentuk bunga bunga
yang mekar di dalam taman qalbi tersebut.
Keranalah
pasti tak ada yang dapat menamsilkan akan bagaimana sesungguhnya akan rupa
daripada bunga yang mekar di taman taman hati manusia ini. Buku itu kembali
dibuka, lembar perlembar diperhatikan dengan seksama.
Kini ia
tidak lagi membaca akan buku tersebut setelah tadi hanya melihat foto hitam
putih yang berukuran tiga kali empat, foto itu terletak, tercetak di bahagian
atas kiri dari halaman akhir buku novel yang ada di tangannya.
Tadi ia hanya
membaca riwayat daripada penulisnya sahaja, akan tetapi kini dirinya sudah
membolak balikkan lagi akan lembaran lembaran buku cerita yang berkisah tentang
romansa, elegi cinta diantara dua sejoli muda.
Satu
persatu akan nomor daripada bilangan angka di kertas putih yang sudah ditinta rapi
tersebut, selembar demi selembar dielusnya manja, jika sahaja seseorang sempat
memperhatikannya di kala waktu, pastilah orang yang melihatnya itu akan
mempunyai anggapan tersendiri untuknya.
Bersambung.....
Nantikan kisah selanjutnya, semoga novel pertama saya ini berkenan di hati anda semua.
Terimaksih untuk anda yang sudah mahu membaca.
Hormat Saya; Syukri Isa Bluka Teubai.
Banda Aceh, 11 Mey 2018.
0 Comments