Sebuah Novel; Elegi Berkasih di Bandar Darussalam {9}



Sebuah Novel;

"Elegi Berkasih di Bandar Darussalam"

Karya; Syukri Isa Bluka Teubai


-{({ 34 })}-

Balai Bambu Beratap Rumbia
***

Lelanya itu tidak diizinkan untuk bekerja di mana mana tempat, kecuali bekerja di rumah untuk dirinya, anak anaknya dan cukup di syurga dunianya sahaja tempat bahagi sang istri itu untuk menghabiskan masa masanya, tidak di tempat yang lain.

Juga kerana, perempuan tersebut bisa dan pandai menjahit, sebuah mesin jahit niscaya menemani waktu waktu senggangnya. Walaupun terus di rumah tidaklah pernah bahpun untuk sekali kesempatan sahaja bisa membuat dirinya bosan.

Banyak kegiatan yang dilakukannya, jika dibandingkan dengan mengurus suami dan anak, lebih banyak lagi akan waktu itu dihabiskan olehnya dengan pekerjaan pekerjaan yang membuat diri dan hatinya bahagia.

Namun mengurus suami dan anak anaknya adalah keutamaan daripada kebahagian yang dirasakan oleh perempuan penyanyang tersebut, akan kebahagian itu tidak didapatinya daripada hal hal yang lain selain mengurus rumah tangganya.

Bahkan ia sekalipun tak pernah melayangkan protes pada suaminya, walau akan kampus di mana dirinya dahulu pernah kuliah, beberapa kali sudah meminta akan kesediannya untuk mengajar di sana, di jurusan keperawatan.

“Saya, seorang perempuan dan sudah menjadi seorang istri yang sangat beruntung.”

“Kerana tidaklah pernah salah dirinya, akan lelaki yang suka mengajariku banyak hal, ia memang seorang yang luar biasa lagi baik hatinya.”

“Cintaku hanya akan selalu untuknya, namun cintaku kepada Tuhan adalah tetap yang utama, terlebih lagi kerana Allah SWT sudah mengirimkan daku seorang lelaki yang sangat menyayangiku, anak anakku dan sekalian keluarga kami.”

“Bang Azis, abang selalu bisa membuat adek terus terusan, perdetik mencintaimu,” gumannya tak kala mengingat akan segala daripada kebaikan yang sudah berlaku terhadap dirinya.
  
-{({ 35 })}-

Oleh kerana akan lelaki pilihan hatinya itu, tidaklah salah ia memperjuangkan cintanya dahulu untuk Azis Muhammad Zul, lelaki kampung yang suka menulis bahpun dirinya tidak punya banyak uang di kala waktu.

“Bang, Azis. Adek, sayangkan abang banyak banyak,” adalah kata kata yang keluar dari mulut Lela tak kala ingatan pikirnya bermuara kepada lelaki pilihan hidupnya yang selalu bisa membuat dirinya rindu, ingin dibelai belai manja dan dipeluk oleh lelaki tersebut.

Aziz tidak begitu suka kepada perempuan, akan istri yang bekerja di tempat lain selain di rumahnya sahaja, ia merasa kasihan kerana perempuan tidak diharuskan mencari nafkah, bukan tidak boleh untuk mencari nafkah, tapi tidak diharuskan mereka itu begitu.

Lelaki pujangga itu tidak menyukai akan istrinya jika harus bekerja dan berkeliaran di luar rumah, kerana bahaginya sang istri itu tugasnya hanya mengurus, membersihkan rumah, menjaga anak anak dan suaminya. Lagi pula ia sudah mampu membiayai akan kebutuhan keluarganya sendiri, tanpa harus sang istri itu bekerja di lain tempat.

Dan mungkin sahaja ia masih menjadi seorang yang belum berperadaban, kerana tidak mengizinkan perempuannya bekerja di luar rumah. Ia juga tidak mahu tahu tentang apa itu kata mereka pada kata kata gender.

Dalihnya, islam sedari dahulu teah menghargai perempuan, akan agama yang diridhai ini sudah dari dahulu mengangkat akan derajat derajat kaum hawa tersebut tanpa pengecualian. Memuliakan sekalian perempuan sudahlah dimulai dari awal datangnya agama islam di atas muka bumi ini.

Tinggilah sudah akan derajat daripada makhluk yang lemah gemulai dalam berperangai, mereka sangat dihormati, dihargainya akan perempuan itu setelah dari pertama datangnya islam tersebut. Setelah Muhammad SAW ada apalagi akanpada sesudah beliau diangkat menjadi rasul Allah SWT.

Jika disidak pada hukum yang sebenarnya hukum (islam) tidak adalah urusannya dengan yang namanya gender, yang hanya baru kemarin, di sore hari kemarin itu baru sahaja diproklamirkan oleh orang orang yang sok tahu pada hukum.

-{({ 36 })}-

Aziz merupakan seorang pribadi yang sekali ia berkata tidak, maka sampai kapan pun apa yang dikatakannya itu tetap akannya tidak. Begitulah pemuda pujangga, akan keteguhan yang ada di dalam dirinya tersebut tidak akan pernah bisa tergoyahkan, apalagi pada suatu hal yang berkenaan dengan hukum agama.

Hanya itu yang selalu ia katakan pada Lelanya, dahulu, adalah pada hukum agama berpegangan teguhnya, selalu akanpada perihal yang berkaitan dengan hukum hukum Allah SWT, yang sampai sekarang ini, bahkan sampai dengan detik ini.

Akanpada hukum tersebut ingin sekali dibuat samar samar oleh sekalian mereka para pembenci islam, dan anehnya daripada kalangan pembenci tersebut adalah mereka itu yang beragama dan bahkan sangat sangat pahamnya tentang islam itu sendiri.

Selalulah itu (ia tak begitu suka akanpada perempuan apalagi nanti istrinya, bekerja di luar rumahnya) yang senantiasa diingatkannya kepada daranya di kala waktu, berhingga setelah pernikahan antara keduanya.

Sampai sa’at ini niscaya tidaklah ada lagi akan hal hal yang perlu diributkan keduanya. Pun, kerana sudah jelas sekalia bahawa islam sudah mengatur akan haq juga pada batas batasannya yangmana seorang perempuan boleh berlaku. Begitu pula akan haqnya bahagi seorang lelaki.       

Berhinggalah pada Lelanya yang tidak sekali pun pernah memprotes, mengadu pendapat atas pada kebijakan yang ditawarkan, diharuskan oleh Azis suaminya tersebut untuk dirinya di kala waktu. Dan apabila pun Lela nak meminta kepada sang kekasih yang sudah halal bahaginya itu untuk bekerja di luar rumah.

Bukanlah tak mungkin akan Azis mengizinkanya untuk bekerja diluar sana, hanya sahaja Suci Lela istrinya itu tidak sekali pun pernah meminta kepadanya pada hal yang demikian. Dara itu juga merupakan lulusan terbaik di kampusnya dahulu, istrinya tersebut adalah seorang sarjana keperawatan bertittle Ners. Suci Laila S.Kep.

Beberapa sa’at, akan kopi yang berada di dalam gelas berwarna putih bercampur sedikit warna hitam di punggung, tepatnya kopi yang berada di dalam satu gelas dua warna tersebut, yang kini tengah terletak di atas meja di hadapan kanannya.

-{({ 37 })}-

Diambillah olehnya akan air yang tercampur itu lalu dengan perlahan diseruput, matanya terpejam sejenak, suara kecil berdentap terdengar dari bibir mulutnya. Kemudian buku bacaan yang sedari tadi ada di tangannya.

Kembali disentuh akan buku tersebut yang sudah diletakkan di atas lantai balai bambu yang terbuat dari batang pohon pinang yang sudah dibelah belah dan dirapikan segi seginya buku itu diambil lagi setelah ditaruh sebentar tadi tak kala ia menyeruput kopi hitam yang berada di dalam gelas dua warna tersebut.

Lalu dielus elus semula akan sampul buku yang kini sudah berada di tangan kanannya, sebuah senyuman indah yang penuh akan makna seketika merekah dari bibir mulutnya. Akan senyuman itu bagaikan bunga yang mekar di taman hati.

Yang sampai kapan pun masih, terus akan menjadi misteri kerana tak seorang manusia mana pun, siapa sahaja ia itu bisa melihat bagaimanakah akanpada bentuk bunga bunga yang mekar di dalam taman qalbi tersebut.

Keranalah pasti tak ada yang dapat menamsilkan akan bagaimana sesungguhnya akan rupa daripada bunga yang mekar di taman taman hati manusia ini. Buku itu kembali dibuka, lembar perlembar diperhatikan dengan seksama.

Kini ia tidak lagi membaca akan buku tersebut setelah tadi hanya melihat foto hitam putih yang berukuran tiga kali empat, foto itu terletak, tercetak di bahagian atas kiri dari halaman akhir buku novel yang ada di tangannya.

Tadi ia hanya membaca riwayat daripada penulisnya sahaja, akan tetapi kini dirinya sudah membolak balikkan lagi akan lembaran lembaran buku cerita yang berkisah tentang romansa, elegi cinta diantara dua sejoli muda.

Satu persatu akan nomor daripada bilangan angka di kertas putih yang sudah ditinta rapi tersebut, selembar demi selembar dielusnya manja, jika sahaja seseorang sempat memperhatikannya di kala waktu, pastilah orang yang melihatnya itu akan mempunyai anggapan tersendiri untuknya.

Bersambung.....


Nantikan kisah selanjutnya, semoga novel pertama saya ini berkenan di hati anda semua.

Terimaksih untuk anda yang sudah mahu membaca.

Hormat Saya; Syukri Isa Bluka Teubai.
Banda Aceh, 11 Mey 2018.

Post a Comment

0 Comments