Sebuah Novel;
"Elegi Berkasih di Bandar Darussalam"
Karya; Syukri Isa Bluka Teubai
-{({ 22 })}-
Balai Bambu Beratap Rumbia
***
-{({ 23 })}-
-{({ 24 })}-
-{({ 25 })}-
-{({ 22 })}-
Balai Bambu Beratap Rumbia
***
Begitu
juga jika ada hal hal yang memang harus segera diselesaikan pada waktunya, di
luar rumah, barulah ia pergi keluar daripada kediaman, daripada syurga dunianya
tersebut. Akan istri dan anak anaknya, mereka itu juga jarang jarang keluar
daripada batas hunian sementaranya di dunia ini.
Adalah
rumah, akan syurga ad-dunya yang ditamsilkan dalam umpama yang sering disebut
sebut dengan tempat berteduh sahaja di alam fana ini, sebahagian, bahagi sebahagian
manusia akan rumah diumpakan juga dengan al-jannah, adalah baitii jannatii;
rumahku adalah syurgaku’.
Balai
bambu beratap rumbia yang lantainya terbuat daripada pohon pinang yang sudah
dibelah belah dan sudah dirapikan segi seginya itu, merupakan tempat bahaginya
tak kala mahu menulis dan bersantai bersama istri dan anak anak tercinta.
Akan balai
beratap rumbia itu juga sebagai tempat untuk menerima rakan rakannya yang
datang bersilaturrahmi. Makan tersebut sudah dipermak sebagaimana diperlunya,
sudah dibuat seperti yang diinginkan oleh kehendak naluri seni yang ada di
dalam dirinya.
Di atas
sana terdapat sebuah meja kecil untuk menaruh alat tulis moden seperti laptop,
lampu pencahaya, beserta dua buah colokan arus listrik dan siapa sahaja yang melihat
akan balai itu, pastilah mereka ingin berada di atasnya.
Walau
hanya untuk sejenak waktu dan barang pasti jika siapa sahaja yang sudah berada
di atas balai tersebut mereka mereka itu akan enggan untuk turun dan beranjak
dari sana bahpun untuk selangkah sahaja.
Itulah akan
hal kejadian yang berlaku, dilakukan oleh Mahlil, yang ia merupakan anak
daripada adik lelaki ibunya sang pemuda penyuka sastra tersebut, sudah empat
tahun pula Mahlil tinggal bersamanya di ibu kota provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Mahlil
Putra sudah seperti kutu lantai balai itu, ia sangat suka berebahan di sana,
jika tidak tengah bekerja. Dan bukan hanya seorang Mahli sahaja, akan anak lajang
yang tinggal bersama di kediaman Azis, adalah empat orang lagi yang mereka itu
masih muda muda dan tinggal bersama di rumah sang lelaki yang suka menulis.
-{({ 23 })}-
Adalah diri
dari si penyuka sastra itu, Azis Bin Muhammad Zul Bin Muhammad Isa. Untuk
mereka yang masih lajang lajang tersebut sudah disediakan akannya kamar khusus,
berada dan berjarak beberapa meter sahaja dari hadapan rumah utama.
Pemuda
pemuda yang belum pada waktunya untuk berumah tangga yang tersebut itu, adalah semua
dari mereka sudah memiliki akan pekerjaan, pengisi akan waktu senggang bahagi
masing masingnya.
Tiga dari
mereka bahkan sudah sarjana, sudah pun mempunyai pekerjaan tetap di ibukota
provinsi nanggroe ini dan dua orang lagi yang satunya termasuk Mahlil, mereka masih
kuliah di kampus UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh.
Balai
bambu beratap rumbia tersebut adalah tempat lain daripada bilik khusus yang ada
di dalam istana dunianya itu, di mana sang pujangga melakukan aktifitas sehari
harinya sebagai penulis. Satu tempat untuknya menulis berada di alam terbuka
dan satu lagi tertutup.
Ia
memiliki tempat yang berbeda untuk mencurahkan segala isi pikirannya ke dalam
lembar lembar microsoft word, adalah salah satunya dari tempat khusus itu akan
balai bambu yang masih di dalam pekarangan huniannya.
Pemuda itu
masih berada di atas balai beratap daun rumbia yang lantainya terbuat daripada
pohon pinang yang sudah dibelah belah dan sudah dirapikan segi seginya, ia
masih duduk sendiri di atas balai tersebut di malam yang semakin gelap, di
malam Kamis yang tak berbintang.
Siapa
sahaja boleh singgah dan bersantai di sana, tak terkecuali. Akan tetapi pada satu
tempat lagi yang ada di dalam rumahnya itu, hanya Mahlil seorang yang berani keluar
masuk ke dalam sana. Walaupun ada beberapa dari keponakannya yang lain yang
mereka mereka itu tinggal bersama di rumahnya.
Adalah
balai bambu merupakan tempat ke dua bahaginya untuk melakukan pekerjaan menulis,
maka daripadanya akan balai tersebut sudahlah dibuat sebagaimana mustinya.
Hanya di dua tempat itu sahaja ia sering menulis berbagai macam ragam tulisan.
Maka akan
balai berlantai pohon pinang yang sudah dibelah belah dan telah dirapikan segi
seginya itu, yang pondasinya terbuat dari beton itulah tempat kedua bahaginya
untuk melakukan aktifitas menulisnya. Pekerjaan penulis itu mulai ditekuninya
setelah ia menikah di empat tahun yang lalu.
Azis
sudah memilih fokus untuk bekerja sebagai tukang tulis sahaja. Ia tidak suka menjadi
pegawai negeri sipil (PNS) yang menurutnya, akan kehidupan itu diatur atur oleh
waktu, adalah kerana ia tidak suka seperti itu, hidup diatur atur oleh waktu.
Walau
dahulu ibunya sangat berharap akan ia nantinya bisa menjadi seorang pegawai
negeri sipil tak kala sudah mendapatkan gelar sarjana. Namun oleh kerana,
menurutnya akan waktu itu juga kehidupan, maka diri setiap manusialah yang
harus mengatur kehidupannya sendiri.
Bersabablah
daripada itu semua Azis lebih memilih untuk mengatur akan waktu waktu tersebut olehnya
sendiri, bukan sebaliknya, waktu waktu itu yang mengatur dirinya, lelaki
tersebut tidak suka pada yang demikian.
Memang
pada dasarnya orang tua dari lelaki penyuka sastra itu, dahulu, pernah menaruh
harapan besar pada dirinya, bahwa suatu sa’at nanti apabila ia sudah selesai
kuliah mustilah ianya menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS).
Kerana
orang tuanya, terutama ibunya berasumsi bahawa pegawai negeri sipil itu
hidupnya enak, setiap bulan ada gaji, pastilah ada gajinya. Jika dipikir pikir
betul juga apa yang dikatakan oleh ibunya tersebut, oleh kerana pada, umumnya
perempuan lebih suka pada yang pasti pasti sahaja.
“Lihat kakak kakakmu, hidup mereka, kan sudah
enak, sudah pegawai negeri.”
“Maka
kamu juga harus seperti mereka,” begitulah ujar ibunya kepada Azis di beberapa
tahun yang lalu, namun sampai sekarang akan kata kata dari perempuan yang sudah
melahirkan dirinya ke dunia ini masih sahaja bahkan sangat sangat melekat di
dalam ruang ingatannya. Walau sudah bertahun tahun lamanya akan kata kata
tersebut dikatakan oleh ibunya kepada dirinya.
Adapun,
kerana selain daripada fokus menulis di rumah, Aziz mempunyai usaha lain di
luar sana, memang menulis adalah pekerjaan utamanya. Akan suami Suci Laila
tersebut memiliki dua muka kedai pangkas rambut.
Yang
setoran daripada kedai dua muka itu berjumlah tiga ratus lima puluh ribu rupiah
per-sehari, maka dengan kerana adanya penghasilan rutin daripada itu, ia bisa
dan lebih memilih untuk menghabiskan akan waktu waktunya bersama keluarga
tercinta.
Ia lebih
memilih untuk bekerja sebagai penulis sahaja di rumahnya. Juga oleh kerana
begitulah tekadnya, akanpada keinginannya dari dahulu, sebelum ia menikah
bahkan semenjak dari sekolah menengah ke atas akan pemuda tersebut sudah
bertekad demikian.
Dan
akanpada setiap kegiatan hari harinya, di rumah, adalah setelah shalat shubuh,
tak lupa membaca satu atawa dua ayat dari Al-Qur’anul Karim, demi memelihara
penglihatan matanya daripada rabun, kerana sekarang ini dirinya sudah saban
hari menulis.
Ia juga
beralasan bahawa membaca kitab suci tersebut adalah sebagai terapi bahagi mata,
otak dan ingatan, juga oleh kerana selalu melihat buku buku bacaan, layar
laptop dan surat kabar. Maka daripada itu semua, dirinya selalu membaca Al-Qur’an.
Mencandai
akan ke dua si buah hati, jalan jalan pagi di kawasan seputaran rumahnya
bersama kedua anak anaknya, sesekali dibarengi oleh Lela istrinya. Yang
kegiatan seperti itu sudah bertahun tahun juga ia lakukan.
Sampai
sampai tetangga di sekeliling rumahnya sudah sangat sangat tahu akanpada
kebiasaannya yang suka membawa jalan jalan anak anaknya, mereka sudah sangat kenal
akanpada dirinya yang mempunyai kebiasaan begitu, berhingga mereka juga kenal
baik dengan kedua anak anaknya adalah Muhammad Al Asykari dan Muhammad Al Asyi.
Satu Mushalla
kecil yang berada di deretan balee menulis, terkadang dipakai oleh Azis untuk
melakukan shalat berjama’ah, bersama semua mereka yang ada di dalam pekarang pagar
rumahnya. Kerana akan Meunasah terbilang sedikit jauh daripada huniannya
tersebut.
Bersambung.....
Terimakasih untuk yang sudah mahu membacanya!
Hormat Saya; Syukri Isa Bluka Teubai.
Banda Aceh, 10 Mey 2018.
0 Comments