Desember Dalam Ingatan

Syukri Isa Bluka Teubai
Foto@Lodin LA

Desember Dalam Ingatan

"Air laut naik, air laut naik, air laut sudah naik ke darat," akan teriakan menggema, orang orang berlarian menjauhi laut. Kulit di wajah bagai tiada lagi berdarah, seakan urat urat penghubung cairan berwarna merah itu sudah tersumbat, wajah wajah kuyu.

Suasana pagi, sa'at sebelum permulaan di hari yang mulai diberi cahaya perlahan oleh matahari, adalah kebiasaan apalagi bertepatan dengan liburnya sekolah, kantor kantor dan lainnya yang memilih Minggu, sebagai hari libur.

Tali tali jemuran di hadapan rumah masing masing warga sudah terlihat penuh dengan kain kain berbentuk, beragam warna. Bahpun matahari masih setengah malu malu untuk menampakkan diri kepada dunia dan semua isinya.

Bang Noh bersama ratusan warga lainnya sudah berada di persimpangan jalan, empat simpang di persimpangan kampung Pasi dipenuhi oleh masyarakat kampung tersebut. Ke setiap penjurunya yang empat itu ada sahaja warga yang berlarian.

"Hei, hei, jangan lari lagi ke sana," teriak bang Noh tak kala beberapa warga berlarian ke arah laut. Jika itu seorang suami, pastilah ingin melihat, menjemput anak istri, begitu, begitu seterusnya. Kerana rumah mereka berada di bibir pantai.

Kejadian raya belumlah terjadi, warga warga belum memahami berbedalah dengan masa sekarang ini. Akan kejadian luar biasa sudahlah terjadi, ribuan anak menjadi yatim, ribuan anak anak menjadi piatu, ribuan anak anak menjadi yatim piatu.

Istri istri menjadi janda, suami suamipun menjadi duda. Tercerai berai, semuanya tercerai berai. Desember semakin kelabu. Seakan lengkap sudah apa yang dialami oleh orang orang Aceh, nyawa nyawa yang hilang oleh sabab konflik, anak anak yang yatim oleh sabab konflik. Lengkap sudah.

Memang 13 tahun, 26 Desember 2004 itu sudah berlalu. Tiga belas tahun pula bang Noh sudah berpisah dengan istri dan anak anaknya, bahkan tak satupun dari mayat, akan jasad yang sudah kaku itu, akan jasad yang tidak lagi bernyawa itu, akan jasad istri dan anak anaknya. Bang Noh tidak pernah melihat jasad jasad itu walau untuk yang terakhir kalinya.

Tiga belas tahun sudah, bang Noh hanya bisa melamuni, membayangi akan wajah wajah mereka yang amat ia kasihani, baik itu wajah rakan hidupnya yang setia setiap malam menemani lelapnya, wajah wajah penghapus lelahnya tak kala ia pulang dari mencari rezeki.

Bang Noh hanya bisa tersenyum dengan air air yang terus mengaliri pipinya, tak kala tanggal 26 Desember tertera di kalender pada setiap tahunnya. Bibirnya semakin tersungging lebar namun bertambah deras pula akan air air yang keluar dari matanya.

Seakan ia mendapati istri dan anak anaknya tengah berdiri di hadapannya, sembari membalas senyumannya dan mereka dengan serentak berkata;

"Janganlah nodai bulan ini dengan piasan piasan yang itu semakin membuat kami menderita, cukup mereka mereka itu yang dilaknati, kerana menendang nendang kepala cucu nabi seperti bola. Ingatlah adalah Desember ini bulan kesedihan bahagi kitA."

Begitu pula orang orang Aceh dan orang orang di negara negara lain yang mengalami kejadian yang sama di 26 Desember itu memperingati hari tersebut dengan cara masing masingnya.

Syukri Isa Bluka Teubai, penyuka sastra.

Post a Comment

0 Comments