Ilustrasi@Syukriisablukateubai
Bak Jampee Itam
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai
Bertambak
ikan ia tiada bisa, maka setelah dipikir-pikir berternak sapi adalah satu
pilihan yang tepat baginya, kerana memang ia berbakat tentang itu. Dan untuk
mencari pakanpun mudah, kerana banyak sekali akan rumput-rumput yang
bisa dimakan oleh sapi berada di kampungnya itu.
“Benarlah kejadian yang selama ini
tersiar,” katanya, setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri keadaan
bang Lah. Baru beberapa hari sakit, bang Lah sudah nampak kurus bagaikan tidak
ada lagi kehidupan untuknya berlaku.
“Saya sangat senang kala itu setelah
nampak di mata ikan-ikan bandeng besar. Saya tidak tahu kalau kampung itu adalah kampung Belukar, tempat di mana bak jampee yang melegenda berada. Cerita-cerita tentang
pohon tua tidak asing bagi saya. Sudah beberapa kali saya dengar cerita-cerita
itu dari tetua-tetua di kampung saya tinggal. Namun saya tidak perhatian
jikalau sudah berada di situ, ya kerana saya pergi menjala ke mana-mana,” bang
Lah mulai bercerita.
“Rasa heran pun tak pernah terbesit
di pikiran, padahal beberapa kali jala sudah terlempar ke situ, ikan-ikan tidak
berlarian. Dasarnya ikan itu, sekali kita melempar jala tidak kena padanya
hilanglah pergi ikan itu entah ke mana. Kerana dibalut rasa senang itulah saya
menjadi lupa pada diri,” ia terus berkata-kata.
“Kendatipun demikian pada sa’at itu tidak
ada keanehan sedikitpun dan berlalu seperti aliran air di sungai itu. Sesampainya
di rumah istri saya memasak ikan itu dengan kuah "Masam ke eung (kuah asam pedas)", salah satu ciri-ciri kuah di Aceh.
Kamipun makan siang bersama kala waktu. Tidak ada yang aneh semua berjalan
seperti biasa pada hari tersebut, untuk makan malam saya bakar beberapa dari ikan
bandeng itu. Rasa enaknya memang berbeda dari rasa ikan-ikan bandeng yang
pernah saya makan sebelum-sebelumnya. Terbesit di pikiran saya untuk kembali
lagi besok ke tempat tersebut,” belum juga bang Lah usai bercerita.
"Setelah jarum jam di dinding menunjukkan
angka sebelas pada malam itu, saya beranjak ke kamar, anak-anak dan istri sudah
tidur duluan. Barulah waktu itu saya mengalami keanehan, saya sadar bahwa saya
belum ngantuk bahkan matapun belum terpejam," kenang bang Lah tentang apa yang
sedang berlaku pada dirinya, dari tepi mata yang memerah air berjatuhan
membasahi pipinya, terdiam sejenak ianya dan melanjutkan lagi cerita itu.
“Seakan saya berada di tempat itu dengan
suasana yang berbeda, nampak lagi ikan-ikan bandeng besar dan sekarang dengan
jumlah yang banyak sekali. Mengerumuni sehingga saya merasa takut, saya melihat
sesosok makhluk yang jelas ia bukan manusia, melotot dengan mata besar, seakan
mata itu mahu keluar dari tempatnya,” cerita yang mengharukan sekaligus membuat bulu kuduk merinding.
“Memegang panah api, bertubuh tinggi
besar, hitam, berjenggot dan kepala botak. Seakan ia yang menyuruh ikan-ikan
bandeng besar itu untuk mengerumuni saya dan meminta kawan-kawannya yang sudah
saya tangkap agar dikembalikan ke situ. Setelah kejadian itu saya tersadar
kembali, terpikir bagaimana caranya untuk mengembalikan ikan-ikan yang sudah
saya makan. Dan hanya tinggal tiga ekor lagi, itupun sudah saya belah dan
sudah diasinkan,” ia masih terus bercerita.
“Sudah mati, tidak hidup lagi. Bagaimana
caranya bagi saya untuk mengembalikan ikan-ikan itu? Pusing di kepala untuk
memikirkan itu. Tidak disadari azdhan subuh terdengar sayup-sayup berkumandang
dari kejauhan. Istri saya bangun untuk shalat pada subuh itu. Setelah ia
selesai dari shalatnya, ia kembali ke kamar. Tidak ada rasa heran sedikitpun
di dirinya yang melihat saya masih terduduk dan mungkin dipikirnya saya baru
bangun dari tidur,” ia terdiam sesa’at.
“Bang, kenapa belum shalat? Mahu pagi
ini!!!” suara istrinya menyapa.
Nada
datar seperti biasa keluar dari mulut Ramulah, tanpa ada rasa curiga sedikitpun
terhadap apa yang tengah digeluti oleh suaminya itu.
“Paken ile droe neuh bang? (Kenapa dulu abang?).”
“Iapun mendekat dipegangnya saya, 'Allahu Akbar', Spontan kata-kata itu
keluar dari mulut saya, setelah itu baru bisa bergerak seperti biasa. Usai dari
shalat subuh barulah saya menceritakan apa yang sudah semalam berlaku terhadap diri ini kepada sang istri,” Usman memelas, ia terkesima mendengar cerita bang Lah.
"Dua hari sudah terlewati, adalah
keanehan-keanehan itu. Rambut-rambut mulai berontokan, sayapun merasa lemas di
badan. Berkecamuk di dalam pikiran terus membuat saya ketakutan. Badan mulai
terasa panas dingin (demam). Sesekali gemetaran, hari berikutnya saya tidak
bisa bergerak lagi. Tetanggapun berdatangan, rasa iba yang mendalam terlihat
di wajah-wajah mereka," Ia masih belum selesai daripada bercerita.
“Tgk Ma’e sudah mengembalikan sisa ikan
bandeng yang sudah saya asinkan itu ke tempat pohon tua jampee itam, dan ia
tidak menceritakan kepada saya bagaimana cara mengembalikan ikan tersebut,” bang Lah masih juga berkata-kata.
"Lebih dari dua puluh orang tukang rajah sudah
saya undang, namun saya masih seperti sekarang," pria itu meneteskan air mata.
“Sakitnya bang Lah sudah memasuki bulan
ketiga pada waktu saya berkunjung itu,” kata Usman kepada kawannya yang ada di
pos ronda di waktu itu.
“Alhamdulillah,
lewat dari satu tahun empat bulan tiga hari. Bang Lang baru sembuh dari
sakitnya, sehat lagi badan, berambut lagi seperti demikian,” Usman terdiam.
“Baaaaaar,”
Usman memukul dinding kayu pos ronda. Terkejutlah semua kawan-kawanya dan
mereka mencerca, ada-ada saja Usman ini.
“Dasar kamu ya Usman, sapinya ada yang sudah bisa dijual megang ini?” Salah seorang dari kawan Usman bertanya.
“Ada,” jawab
Usman.
Berakhirlah
ceritanya bersamaan dengan dipukulnya dinding pos tadi. Mereka pun larut dalam
candanya malam itu.
Aura
ghaib yang hadir dari pohon tua itu sangatlah lekat dengan warga. Dan tiada
lagi menjadi masalah bagi mereka, pada hal yang demikian mereka sudah terbiasa.
Namun, pantangan-pantangan tetap masih sahaja terucap dari mulut para
orang-orang tua untuk anak-anak mereka agar tiada pergi ke pohon tua itu.
“Anehnya, meski sudah berumur ratusan
tahun. Pohon itu masih seperti biasa tidak ada perubahan padanya,” kata nek
Puteh.
“Sebelum saya lahir, bak jampee itu sudah
ada, orang tua saya dulu yang bilang begitu pada saya. Sekarang umur saya sudah
seratus satu tahun, pohon itu masih
seperti biasa. Selama hidup saya baru dua kali pohon itu dibersihkan, dipotong
sedikit cabang-cabangnya yang sudah tidak beraturan oleh si Husen cucu saya,”
ia pun terus bercerita.
“Memang benar para makhluk ghaib bertempat
di pohon itu. Dulu, pada masa penjajahan kolonial Belanda. Pelabuhan berada
tepat dengan pohon itu dan tembus ke laut. Di situ mereka makan, minum dan
istirahat sebelum melakukan perjalanan lagi. Warung itu bernama Warung Belanda,” perempuan paruh baya itu
terus bercerita.
“Karena
hampir semua mener-mener itu makan dan
istirahat di sana, sampai sekarang pun masih seperti itu. Jikalau tidak percaya
boleh pergi dengan saya pada malam senin dan kamis, kita akan melihat mereka
di sana. Yang memang sekarang di tempat pohon itu sudah dijadikan istana yang
begitu megah oleh makhluk-makhluk ghaib tersebut,” ia masih juga larut dalam
ceritanya.
Bersambung........(Bagian E4).
0 Comments