Bak Jampee Itam (Bagian T3)


Ilustrasi@Syukriisablukateubai


Bak Jampee Itam
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai


Bertambak ikan ia tiada bisa, maka setelah dipikir-pikir berternak sapi adalah satu pilihan yang tepat baginya, kerana memang ia berbakat tentang itu. Dan untuk mencari pakanpun mudah, kerana banyak sekali akan rumput-rumput yang bisa dimakan oleh sapi berada di kampungnya itu.

“Benarlah kejadian yang selama ini tersiar,” katanya, setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri keadaan bang Lah. Baru beberapa hari sakit, bang Lah sudah nampak kurus bagaikan tidak ada lagi kehidupan untuknya berlaku.

“Saya sangat senang kala itu setelah nampak di mata ikan-ikan bandeng besar. Saya tidak tahu kalau kampung itu adalah kampung Belukar, tempat di mana bak jampee yang melegenda berada. Cerita-cerita tentang pohon tua tidak asing bagi saya. Sudah beberapa kali saya dengar cerita-cerita itu dari tetua-tetua di kampung saya tinggal. Namun saya tidak perhatian jikalau sudah berada di situ, ya kerana saya pergi menjala ke mana-mana,” bang Lah mulai bercerita.

“Rasa heran pun tak pernah terbesit di pikiran, padahal beberapa kali jala sudah terlempar ke situ, ikan-ikan tidak berlarian. Dasarnya ikan itu, sekali kita melempar jala tidak kena padanya hilanglah pergi ikan itu entah ke mana. Kerana dibalut rasa senang itulah saya menjadi lupa pada diri,” ia terus berkata-kata.

“Kendatipun demikian pada sa’at itu tidak ada keanehan sedikitpun dan berlalu seperti aliran air di sungai itu. Sesampainya di rumah istri saya memasak ikan itu dengan kuah "Masam ke eung (kuah asam pedas)", salah satu ciri-ciri kuah di Aceh. Kamipun makan siang bersama kala waktu. Tidak ada yang aneh semua berjalan seperti biasa pada hari tersebut, untuk makan malam saya bakar beberapa dari ikan bandeng itu. Rasa enaknya memang berbeda dari rasa ikan-ikan bandeng yang pernah saya makan sebelum-sebelumnya. Terbesit di pikiran saya untuk kembali lagi besok ke tempat tersebut,” belum juga bang Lah usai bercerita.

"Setelah jarum jam di dinding menunjukkan angka sebelas pada malam itu, saya beranjak ke kamar, anak-anak dan istri sudah tidur duluan. Barulah waktu itu saya mengalami keanehan, saya sadar bahwa saya belum ngantuk bahkan matapun belum terpejam," kenang bang Lah tentang apa yang sedang berlaku pada dirinya, dari tepi mata yang memerah air berjatuhan membasahi pipinya, terdiam sejenak ianya dan melanjutkan lagi cerita itu.

“Seakan saya berada di tempat itu dengan suasana yang berbeda, nampak lagi ikan-ikan bandeng besar dan sekarang dengan jumlah yang banyak sekali. Mengerumuni sehingga saya merasa takut, saya melihat sesosok makhluk yang jelas ia bukan manusia, melotot dengan mata besar, seakan mata itu mahu keluar dari tempatnya,” cerita yang mengharukan sekaligus membuat bulu kuduk merinding.

“Memegang panah api, bertubuh tinggi besar, hitam, berjenggot dan kepala botak. Seakan ia yang menyuruh ikan-ikan bandeng besar itu untuk mengerumuni saya dan meminta kawan-kawannya yang sudah saya tangkap agar dikembalikan ke situ. Setelah kejadian itu saya tersadar kembali, terpikir bagaimana caranya untuk mengembalikan ikan-ikan yang sudah saya makan. Dan hanya tinggal tiga ekor lagi, itupun sudah saya belah dan sudah diasinkan,” ia masih terus bercerita.

“Sudah mati, tidak hidup lagi. Bagaimana caranya bagi saya untuk mengembalikan ikan-ikan itu? Pusing di kepala untuk memikirkan itu. Tidak disadari azdhan subuh terdengar sayup-sayup berkumandang dari kejauhan. Istri saya bangun untuk shalat pada subuh itu. Setelah ia selesai dari shalatnya, ia kembali ke kamar. Tidak ada rasa heran sedikitpun di dirinya yang melihat saya masih terduduk dan mungkin dipikirnya saya baru bangun dari tidur,” ia terdiam sesa’at.

“Bang, kenapa belum shalat? Mahu pagi ini!!!” suara istrinya menyapa.

Nada datar seperti biasa keluar dari mulut Ramulah, tanpa ada rasa curiga sedikitpun terhadap apa yang tengah digeluti oleh suaminya itu.

“Paken ile droe neuh bang? (Kenapa dulu abang?).”

“Iapun mendekat dipegangnya saya, 'Allahu Akbar', Spontan kata-kata itu keluar dari mulut saya, setelah itu baru bisa bergerak seperti biasa. Usai dari shalat subuh barulah saya menceritakan apa yang sudah semalam berlaku terhadap diri ini kepada sang istri,” Usman memelas, ia terkesima mendengar cerita bang Lah.

"Dua hari sudah terlewati, adalah keanehan-keanehan itu. Rambut-rambut mulai berontokan, sayapun merasa lemas di badan. Berkecamuk di dalam pikiran terus membuat saya ketakutan. Badan mulai terasa panas dingin (demam). Sesekali gemetaran, hari berikutnya saya tidak bisa bergerak lagi. Tetanggapun berdatangan, rasa iba yang mendalam terlihat di wajah-wajah mereka," Ia masih belum selesai daripada bercerita.

“Tgk Ma’e sudah mengembalikan sisa ikan bandeng yang sudah saya asinkan itu ke tempat pohon tua jampee itam, dan ia tidak menceritakan kepada saya bagaimana cara mengembalikan ikan tersebut,” bang Lah masih juga berkata-kata.

"Lebih dari dua puluh orang tukang rajah sudah saya undang, namun saya masih seperti sekarang," pria itu meneteskan air mata.

“Sakitnya bang Lah sudah memasuki bulan ketiga pada waktu saya berkunjung itu,” kata Usman kepada kawannya yang ada di pos ronda di waktu itu.

Alhamdulillah, lewat dari satu tahun empat bulan tiga hari. Bang Lang baru sembuh dari sakitnya, sehat lagi badan, berambut lagi seperti demikian,” Usman terdiam.

“Baaaaaar,” Usman memukul dinding kayu pos ronda. Terkejutlah semua kawan-kawanya dan mereka mencerca, ada-ada saja Usman ini.

“Dasar kamu ya Usman, sapinya ada yang sudah bisa dijual megang ini?” Salah seorang dari kawan Usman bertanya. 

“Ada,” jawab Usman.

Berakhirlah ceritanya bersamaan dengan dipukulnya dinding pos tadi. Mereka pun larut dalam candanya malam itu.

          Aura ghaib yang hadir dari pohon tua itu sangatlah lekat dengan warga. Dan tiada lagi menjadi masalah bagi mereka, pada hal yang demikian mereka sudah terbiasa. Namun, pantangan-pantangan tetap masih sahaja terucap dari mulut para orang-orang tua untuk anak-anak mereka agar tiada pergi ke pohon tua itu.

“Anehnya, meski sudah berumur ratusan tahun. Pohon itu masih seperti biasa tidak ada perubahan padanya,” kata nek Puteh.

“Sebelum saya lahir, bak jampee itu sudah ada, orang tua saya dulu yang bilang begitu pada saya. Sekarang umur saya sudah seratus satu tahun, pohon itu masih seperti biasa. Selama hidup saya baru dua kali pohon itu dibersihkan, dipotong sedikit cabang-cabangnya yang sudah tidak beraturan oleh si Husen cucu saya,” ia pun terus bercerita.

“Memang benar para makhluk ghaib bertempat di pohon itu. Dulu, pada masa penjajahan kolonial Belanda. Pelabuhan berada tepat dengan pohon itu dan tembus ke laut. Di situ mereka makan, minum dan istirahat sebelum melakukan perjalanan lagi. Warung itu bernama Warung Belanda,” perempuan paruh baya itu terus bercerita.


Karena hampir semua mener-mener itu makan dan istirahat di sana, sampai sekarang pun masih seperti itu. Jikalau tidak percaya boleh pergi dengan saya pada malam senin dan kamis, kita akan melihat mereka di sana. Yang memang sekarang di tempat pohon itu sudah dijadikan istana yang begitu megah oleh makhluk-makhluk ghaib tersebut,” ia masih juga larut dalam ceritanya.

Bersambung........(Bagian E4).

Post a Comment

0 Comments