Ilustrasi@Syukriisablukateubai
Bak Jampee Itam
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai
“Kapal-kapal megah hilir-mudik.
Pasukan-pasukan Belanda berseragam lengkap dengan senapan perang akan nampak
di mata. Mereka tidak pernah mengganggu kita, ada kesibukan merekanya itu,” Nek
Puteh terdiam sejenak.
“Akan tetapi, yang tidak saya sukai dari
warga. Beberapa dari mereka mengusik ketenangan makhluk-makhluk itu dengan
memberi sesajen (semacam persembahan) baik buah-buahan, pulut yang dibuat dari nasi ketan, ayam
jantan atau betina yang berwarna putih, hitam, abu-abu dan bermacam-macam,” ia
menyambung lagi ceritanya.
“Setelah itu menyuruh makhluk-makhluk
tersebut untuk membawa bencana dan kebencian kepada orang-orang yang tidak
disukai oleh warga tersebut. “Di situ kadang saya merasa sedih”.
Dan ada juga dari warga yang menginginkan ilmu-ilmu hitam dari jin-jin yang ada
di situ. Adalah menyuruh dan memberi imbalan siapa yang tidak mahu, saya pun
akan demikian,” cerita itu seakan tiada habis-habisnya.
“Semua mereka-mereka ghaib yang ada di pohon
itu saya kenal. Raja Itam, Raja Laut, Raja Ular dan Raja Tujuh. Semua itu
adalah orang-orang besar dari bangsa ghaib yang menempati Istana di pohon tua,
semua mereka baik. Dan tidak ada pantangan-pantangan yang tidak wajar bagi
orang-orang yang mahu pergi ke situ, apalagi kalau hanya untuk sekedar numpang lewat ke laut dari
jalan setapak yang ada di samping bak jampee. Asal niat di hati orang-orang
tersebut baik hanya untuk mengunjungi dan numpang lewat saja tidak ada yang
lain,” ia terus berkata-kata.
“Raja Laut akan menampakkan dirinya
ke dalam beberapa bentuk. Seperti kepiting-kepiting besar, ikan-ikan besar dan
udang-udang besar. Dan ukuran kepiting, ikan dan udang akan berbeda dari ukuran
biasanya. Jelmaan dari raja Laut itu berbeda.Baik siang mahupun malam ia bisa
menampakkan jelmaan dirinya, kalau dilihat jangan diganggu biarkan saja
begitu,” ia makin larut dalam bercerita.
“Raja Ular akan menampakkan dirinya dalam
bentuk ular-ular sungai yang besar, setiap aliran dilalui tetapi aliran-aliran
sungai yang dekat dengan pohon tua saja. Dan lebih jelas ular-ular itu ada
dalam bentuk nyata, terlukis pada daun-daun pohon jampee. Nampaklah
bermacam-macam bentuk ular di sana, dari daun ke daun. Itu memang dari
perwujudannya sayapun mengerti adanya begitu,” semakin bersemangat ianya berkisah.
“Raja Tujuh ia lebih suka tidur, bulan
penuh purnama barulah ia beraktifitas. Dan cuma pada malam purnama saja, entah
apa yang dilakukannya saya tidak tahu,” belum juga selesai cerita itu.
“Suatu hari saya bawa Husen ke tambak,
waktu itu ia belum menikah. Entah kenapa ia menjadi marah-marah sendiri saya
pun heran padanya, jelas ia menendang
salah satu batang kayu yang ada di tempat itu. Setelah demikian terjadi. ia
tidak bisa bangun, kakinya bengkak seketika. Tidak bisa lagi berjalan dan saya
langsung membawanya pulang dengan sedikit menuntun tubuhnya ke rumah,” kenang nek Puteh di sela-sela ceritanya.
“Setelah satu hari berlalu, hari kedua
barulah saya merajah ia. Dan meminta kepada Allah SWT untuk kesembuhan
kakinya, Alhamdulillah. Di pagi hari
yang ke tiga ia sudah sembuh bisa berjalan lagi seperti biasa. Dan katanya ia
bermimpi bahwa yang ia tendang itu adalah sebuah kapal Perang Belanda,”
perempuan berwajah kusut putih itu terus berkata-kata.
“Ke tempat itu boleh-boleh saja, kan saya
sudah bilang. Tetapi jangan sekali-kali bercakap kotor ataupun memaki-maki.
Mereka tidak suka hal-hal yang demikian, sama juga seperti kita yang tidak suka
dengan itu,” ia terus menasehati.
“Si Baidah juga pernah sakit menahun,
waktu itu ia pergi ke tempat pohon tua, karena memang di situ banyak pohon pandan.
Daunnya bagus-bagus, lebih panjang dari ukuran-ukuran daun pandan biasa yang
ada di tempat-tempat lain di kampung ini. Ia memotong daun-daun pandan untuk dianyam menjadi tikar Daun Pandan,” ia mengenang akanpada kak Baidah.
“Nah, pada sa’at ia memotong
pohon-pohon pandan itu, mulutnya sedang menggerutu, entah ia marah kepada siapa
kala itu, yang jelas ia sedang menggerutu dengan kata-kata kotor di mulutnya.
Entah ia tidak sadar atau memang disengaja, yang jelas pohon tua berada tepat
di sampingnya. Sesampainya ia di rumah, tubuhnya bergetar, terasa panas dingin
(demam), seluruh badan lemas seketika, begitu juga dengan rasa yang menyerang
tubuhnya, Berhari-hari ia terlegeletak di pembaringan,” seakan cerita itu tiada
habisnya.
“Beberapa tukang rajah yang diundang,
macam-macam saja permintaan mereka. Ada yang bilang makhluk di situ meminta ayam yang berwarna putih, ayam
hitam, kambing putihlah atau semacamnya. Tahun berganti, ia masih juga sakit.
Belum ada tanda-tanda kesembuhan yang berpihak padanya, tiada kata dan cara.
Saya sendiri yang harus turun tangan,” ia terdiam sejenak.
Sebenarnya
nek Puteh tiada suka merajah siapa pun ia itu. Tetapi, karena besarnya perasaan
tidak enak di hatinya jikalau menolak untuk tiada membantu orang-orang yang
telah meminta bantuan padanya, nah kerana itulah. Kerana rasa sosial yang
begitu besar pada dirinya.
Nek
Puteh pun mulai merajah kak Baidah dengan caranya, tiada henti-hentinya kalimat
suci itu terucap di mulutnya di kala ia merajah seseorang, bacaannya fasih dan
jelas setiap akanpada bacaan-bacaannya itu. Semuanya dari ayat-ayat Al-qur’an.
“Beberapa hari berlalu, sudah nampak
kesembuhan pada Baidah. Namun hal yang aneh baru mucul dan berada di mulut kak Baidah.
Terlihat jelas kemiringan di situ. Saya selalu menyarankan kepada kak Baidah dan
keluarga agar selalu meminta kesembuhan kepada Allah SWT,” kilah nek Puteh
lagi.
Bersambung.........(Bagian L5).
0 Comments