Meulinte dari Jakarta



Meulinte dari Jakarta
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai

Alkisah, bermula daripada sebuah cerita. Menikahlah seorang lelaki dengan pujaan hatinya, Musibah nama perempuan itu. Beberapa hari sesudah acara adat itu berlaku, dibawa pulanglah ia ke rumah suaminya.

“Katrep ka troeh tawoe?” Suara ibu mertuanya menyapa. Adapun menantu wanita itu sering dipanggil dengan nama pendeknya yaitu Ibah, singkatan dari nama panjangnya Musibah.

“Belum mak, baru aja sampek!” Ibah menjawab.

“Ooo, baru sampek nyak Ibah nyeh? Duduk terus dulu, Ibu nak peguet ie dulu ke belakang ya?” Dengan bahasa indo terbata-bata ibu mertua itu menjawab. Dan ia seketika berlalu.

Dilihat dari cara berbicara dan gayanya, Ibah boleh dikatakan sangat oke, sidik punya sidik rupanya ia adalah primadona di kampung  Pungget. Kampung lahirnya tersebut berada jauh dari pusat kota.

“Hai, that teuh. Pu sibok that ile idroew neuh kak Dah?” tanya kak Nah, ia adalah pemilik sekaligus penjual di kedai kelontong dekat lampoeh U apa Nu.

“Neu iem droe neuh keudeh reuh, bubok te neu bie ile meuduaboh,” setelah membeli bubuk teh, ibu mertua tersebut langsung pulang dan memanaskan air.

“Ooo, na meulinte neuh ie remoeh lage. Keujet keuh sibok that hai,” kak Nah penasaran. Bersabab dari penasarannya itu ia sampai membuntuti kak Dah ke rumahnya, yang memang kedai dan rumah itu hanya berjarak beberapa meter sahaja.

“Bek rioh nah, idenge le meulinte long entek male teuh!”

“Alah idroew neuh.”

“Seman, hou keuh? Ka pengen jep ie si nyak Ibah ile nyoe,” suara ibu mertua itu memanggil anaknya yang tiada lain ialah lintoe baroe tersebut.

“Iya mak, enggak apa-apa. Kan Ibah bisa minum sendiri,” menantu wanita itu pun menjawab.

“Heh, ken apa-apa. Mungkin nyak Ibah malu,” jawab ibu mertua sambil ia kembali ke dapur.

“That na teuh neuh neukiralaju meulinte long, nyan meulinte dari Jakarta man ka ijakduk ideh i gampong Pungget. Hanjet jih icakap basa geutanyoe,” ibu mertua itu memberitahukan kak Nah.


“Dreow neuh kak Dah nah, that galak neumayang. Man nyoe sit. Bahasa aceh neu cakap saknyoe, bahasa indo jibalah,” kak Nah pun mengeleng-gelengkan kepala. Sembari keduanya itu tertawa terbahak-bahak dengan mulut ditutup kain sarung masing-masing. Biar tiada terdengar suara tawa mereka oleh menantu dari Jakarta tersebut.

Syukri Isa Bluka Teubai, penyuka sastra. 

Post a Comment

0 Comments