Racun yang Masih Bersarang di Saraf Ingatan [Tragedi Berdarah Simpang KKA 3 Mei 1999] Bagian Dua

Syukri Isa Bluka Teubai
Foto@Fery Rusda

Racun yang Masih Bersarang di Saraf Ingatan [Tragedi Berdarah Simpang KKA 3 Mei 1999]
Oleh; Syukri Isa Bluka Teubai

Teringatku padanya (almarhumah Mami), kerana keluarga kami, semuanya. Sudah sepekan masa tinggal dan berkumpul di rumahnya, semua anak anaknya berkumpul dan juga semuanya bermalam di sana. Bersabab daripada itu, di hari kami harus pergi untuk berkumpul ke lapangan. Aku teringat padanya.

Sedangkah ayah, aku tahu di mana ia berada. Walau juga sudah seminggu ayah tidak setiap waktu bersama kami, sampai dengan hari yang kesekian kalinya harus berkumpul ke lapangan bola sepak Cot Muroeng. Adalah ia masih di kampung, kerana sesekali waktu ayah sempat mengunjungi kami di rumah Mami walau di malam hari.

"Kamu kenapa tidak membawa apa apa," tegur seorang rakan yang ia beberapa tahun lebih tua dariku. Kerana bersamaku tidak terlihat satu senjata apapun, sedangkan di tangannya ada sembilan jari jari besi runcing. Kulihat dirinya nampak sangat garang, dan ia memang terkenal seorang anak yang batat baik di sekolah atawa di kampung.

Akupun tidak menjawab sepatah kata pun. Namun, ia langsung memberiku satu jari jari besi yang sudah diruncingkan itu. Kuambil, kami pun melangkah lagi. Sesampainya di lapangan, ayah seketika sudah menghampiri kami yang tengah bersama ibu. Ia melihat Zulfadli yang tengah terlelap di dalam pangkuan ibu. Aku tidak tahu darimana datangnya, tiba tiba sahaja ayah sudah ada bersama kami di hari yang hampir menjelang siang itu.

Mengelus ngelus kepalaku sembari bercakap cakap dengan ibu, kusimak percakapan mereka. Kata ayah, kedua kakak perempuanku dan mami sudah ia jumpai. Padahalnya waktu itu, kami semuanya tengah berada di satu tempat. Tapi kerana banyaknya masyarakat yang sudah berkumpul di sana. Bersabablah terpisah pisah antara sesama keluarga.

Mataku tidak berkedip daripada melihat ayah, yang kembali pergi meninggalkan kami di tengah tengah kerumunan manusia. Dari jauh aku perhatikan ayah tengah bercakap cakap dengan rakan rakannya, mereka berjumlah puluhan orang. Dan berada terpisah dari kerumunan kami. Rakan rakan ayah itu, satu dua orang sampai sekarang aku masih kenal dengan wajah wajah mereka. Mereka bukan orang kampungku.

Dan, pada siang harinya di waktu itu. Tersialah kabar duka, kabar maha petaka. Orang orang Aceh, ditembak. Masyarakat sipil yang tidak berdosa itu diberondong dengan senjata, dengan tidak ada ampun. Dan tragedi berdarah itu, mungkin sahaja dan sangat mungkin; tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika ingin melupakannya.

Begitu juga dengan tulisan yang aku tulis ini, hanya ingin mengingatkan diriku sahaja tentang kejadian itu "Timah Timah Beracun Masih Bersarang Di Saraf Ingatan, 3 Mei 1999." Kejadian yang aku sudah ada di kala waktu, dan sehari dari tanggal 3 tersebut di tahun 2017 ini, kembali aku mengenang cerita itu.

Nakeuh, kerana sabab daripada peristiwa di hari tersebut, akan Mami (ibu daripada ibuku) terjadi perubahan di fisiknya, tangan dan hampir semua anggota di tubuhnya itu bergetar. Setelah kejadian itu berlaku, dirinya mulai sakit makit, walau usianya belum tergolong tua di kala waktu. Dan akan penyakit itu berteman dengannya sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya di tahun 2008.

Tepatnya pada angka 4, di bulan Mei tahun 2017 ini. Kucoba untuk mengisahkannya kembali di lorong ingatanku, hanya sebagai pengingat akan diriku sahaja. Pun, kerana juga sudah beberapa hari tidak sempat memanjakan jemari untuk menulis akan setiap kisah yang berlaku.

Tamat.....

Aceh, 04 Mei 2017.

Syukri Isa Bluka Teubai, Penyuka Sastra.


Post a Comment

0 Comments