Racun yang Masih Bersarang di Saraf Ingatan [Tragedi Berdarah Simpang KKA 3 Mei 1999] Bagian Satu

Syukri Isa Bluka Teubai
Foto@Fery Rusda

Racun yang Masih Bersarang di Saraf Ingatan [Tragedi Berdarah Simpang KKA 3 Mei 1999]
Oleh; Syukri Isa Bluka Teubai

Akanpada hari yangmana tertanggal 3 di bulan Mei ini, dan kemarin sudah berlalu, hari ini angka tanggalnya sudah 4 Mei 2017. Kini umurku sudah 27 tahun. Alhamdulillah, puji syukurku kepada Allah. Atas nikmat umur yang masih dikandung badan sampai dengan detik ini.

Kala waktu pada tahun 1999, aku sudah kelas tiga di Sekolah Dasar (SD). Dan Aceh, tengah sebegitunya bergejolak. Apalagi di daerah (Aceh) tempatku tinggal. Bluka Teubai, tepatnya di kecamatan Dewantara, kabupaten Aceh Utara, Aceh. Cot Muroeng dan kampungku hanya dibatasi oleh palang pembatas kampung sahaja (tetangga kampung, kampung tetangga).

Simpang KKA, hanya terpisah oleh beberapa kampung tetangga. Beberapa hari sebelum tragedi berdarah di simpang itu, orang orang kampung cukup gelisah dan huru-hara oleh kerana suasana. Aku yang masih seorang anak kecil di masa itu, juga harus menanggung beban (mental).

Akan beban perang yang mengharuskan setiapnya (makhluk hidup di atas bumi Allah) untuk mempertahankan kehidupan, keadilan, kemakmuran dan sebagainya. Juga termasuk beberapa rakan rakan kecilku dan anak anak yang masih di dalam gendongan ibunya.

Nakeuh, sebelum hari tragedi berdarah itu, sebelum penembakan yang membabi buta itu, beberapa hari sebelum orang orang kampungku, kampung kampung tetangga umumnya orang Aceh; menjadi sasaran tembak, menjadi umpan umpan timah runcing yang beracun itu. Kami (warga) beberapa kali harus pulang pergi untuk berkumpul di lapangan bola sepak, Cot Muroeng, Dewantara, Aceh Utara, Aceh.

Di waktu itu, aku yang masih kanak kanak, juga begitu dengan rakan rakan yang seumuran dan yang tinggal di kampung kampung; masa masa kami untuk memanjakan diri dengan lingkungan, adakala untuk bermain bersama rakan rakan, itu, tidaklah sama seperti sekarang ini;

Mereka mereka kecil yang di masa negeri sudah aman seperti sekarang. Sudah bisa, dengan leluasa dan tidak adalagi rasa cemas daripada orang tua. Berbahagialah mereka, atas nikmat perdamaian di negeri kita ini. Semoga sahaja, sampai kapan pun. Senantiasa tetap dalam damai.

Di hari yang entah keberapa kalinya, kami, (masyarakat) untuk kembali berkumpul di lapangan bola sepak itu. Kulihat, semuanya sudah pasti ada yang membawa senjata, setidaknya; untuk menghibur jiwa jiwa yang tengah gelisah. Kerana senjata yang dibawa itu berupa, rencong, pisau, pedang berbagai jenis, parang, cangkul, lembing, jari jari sepeda, motor honda yang sudah diruncingkan.

Yang kesemua senjata yang tersebut, tidaklah sedikitpun berbanding dengan senjata senjata otomatis itu. Kerana itulah aku beranggapan, masyarakat mempersenjatai dirinya itu tidak lain hanya untuk "menghibur jiwa jiwa yang tengah gelisah." Kerana tidak sebanding.

Di dalam perjalan, yang hampir mendekati lapangan bola sepak itu. Warga terus melangkah dari jumlahnya yang melebihi ratusan orang itu, aku tidak mendengar sedikitpun suara daripada orang yang tengah bercakap cakap, walau sesamanya.

Mereka terus melangkah, begitu juga dengan diriku. Hanya sahaja tanganku dipegang oleh ibu yang di dalam pangkuannya adalah adikku Zulfadli, ia baru berumur dua tahun, sedangkan Zulfan, adikku yang paling terakhir di keluarga kami sekarang ini, belumpun lahir ke dunia ini. Aku pun berjalan sembari berlari kecil. Kerana langkah mereka yang dewasa tidak mampu kuimbangi dengan langkah kecilku.

Aku tidak tahu di mana akan gerangan kedua kakak perempuanku, entah bersama siapakah mereka di kala waktu. Yang pasti mereka juga harus pergi ke lapangan itu. Kerana tersiar kabar, tidak ada yang akan bertanggung jawab, jika di kampung nantinya terjadi sesuatu.

Lagi pun beberapa truk yang di dalamnya itu, membawa orang orang berbaju loreng yang disertai dengan senjata otomatis. Lalu lalang di jalan kampung kami, mereka terlihat tanpa tujuan. Begitu juga dengan almarhumah nenekku, yang biasa kusapa dengan panggilan Mami (mamak dari ibuku). Di waktu itu, aku juga tidak tahu ia telah bersama siapa. 

Bersambung.....


Aceh, 04 Mei 2017.

Syukri Isa Bluka Teubai, Penyuka Sastra. 

Post a Comment

0 Comments