Foto, Drama Arena Santriah, Angkatan 2016.
@Ruslanfacebook
Misbahul Ulum Warnai Dunia
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai
Ttrrrrrrrrrrriiiinnngggggg ting ting ting
tttrrrrrrrriiiingg.
Lonceng kembali berbunyi pertanda jam sudah
menunjukkan pukul 11:30 WIB. Waktu mandi untuk pergi salat Jum’at di siang hari
yang penuh berkah itu.
Misbahul Ulum di kelilingi oleh sekalian
kampung, di antaranya, Meuria Paloh, letak dayah Misbahul Ulum itu, Paloh Dayah,
Loh Angen, Paloh Punti, Cot Trieng, Sp Len, Blang Pulo, Cot Paya, Uteun Rayek
dan sebagainya. Barisan rapi sang santri memenuhi sebagian jalan aspal kampung
itu, yang tembus ke keude Paloh dari arah utara dan arah selatan tembus menuju
kampung Paloh Punti, Cot Trieng, Simpang Len dan ke kampung-kampung lain.
Sekalian tetangga-tetangga kampung ini
sangat bersahaja kepada Misbahul Ulum, mereka tidak akan tinggal diam, selalu,
senantiasa membantu dayah tersebut. Walau hanya memberi akan alamat kepada
siapa sahaja yang bertanya akan dayah itu. Apalagi masyarakat Meuria Paloh sendiri,
sungguh jangan tanyakan lagi akan sekalian pengorbanan mereka untuk dayah yang
kian megah ini. Dayah yang telah turut juga mengharumkan nama kampung mereka,
Meuria Paloh kepada dunia seiring terkenalnya Misbahul Ulum Paloh.
Oleh kerana itu, apabila didapati akan
mereka baik santri apalagi ustad-ustad yang mengajar, mengabdikan ilmu,
mengabdikan segenap jiwa raganya di kampung mereka, sungguh sangat dimuliakan
oleh masyarakat-masyarakat kampung itu. Ke kedai kopi senantiasa dipaksa walau
hanya dijamu dengan segelas kopi sahaja. Mereka begitu akrab, seakan
ustad-ustad di situ merasa akan suasana kampungnya sendiri bahpun mereka ada
yang dari pulau Jawa. Keakraban-keakraban antara mereka sungguh luar biasa
tidak diragukan lagi.
Mereka sangat sadar dan senantiasa
menjaga akan Misbahul Ulum Paloh, yang berada di situ dari gangguan-gangguan tertentu,
bahkan dari kalangan sendiri. Mereka senantiasa dan berbesar hati untuk
menasehati, sama-sama mengingat-ingati jika ada persoalan-persoalan yang
terjadi.
Sepulangnya dari mesjid, mereka langsung
menuju dapur umum untuk makan siang, antrian-antrian tersusun rapi, menunggu
giliran nasi, tidak riuh, tentram akan suasana di dapur, tidak saling
mendahului, tidak saling rebut-rebutan mereka sadar akan semua itu. Nakeuh,
mereka adalah santri.
Setelah makan siang, ada yang melanjutkan
lagi akan latihan-latihan untuk nanti malam, ada juga yang beristirahat siang
sejenak waktu.
“Ya sahibi -wahai sahabatku-, mahukah anta
mendengar akan sedikit banyaknya curhatku?” Azizul Hakim bertanya akan kawannya
M. Syukri.
“Na’am, na’am silahkan. Ceritakanlah semua
keluh kesah anta, senantiasa ana dan semua orang di sini akan mendengarkannya,”
Syukri meng-iakan sahabat itu.
“Ana sangat susah, sangat banyak
pikiran-pikiran yang tercerai-berai akannya di kepala ini. Sesungguhnya Ana
sendiri juga bingung, entah, pokoknya bingung sekali,” Azizul terus
berkata-kata.
“Pertama, bagaimana caranya biar Nahnu ini
seperti abang-abang leting yang sudah duluan menjadi alumni di Misbah ini,
sungguh mereka sangat-sangat luar biasa. Lihat sahaja sekarang, di media-media
baik cetak atau media elektronik muka-muka mereka terpampang di sana, bahkan
ada yang sudah menjadi orang-orang nomor satu di Aceh ini, termuda lagi,”
pemuda yang bingung itu masih juga berkata-kata.
“Ada yang sedang menyelesaikan gelar Doktornya,
Dosen-dosen di berbagai kampus, pemimpin Media dan sungguh sangat banyak dari
mereka yang sudah berhasil, membawa akan nama Misbahul Ulum ini untuk turut
Mewarnai Dunia. Apakah Nahnu nanti bisa bahkan harus lebih dari apa yang sudah
dilakukan oleh mereka ke hadapannya ini?” Azizul Hakim masih terus berkata-kata
lagi.
“Kedua, Ana sangat khawatir dengar diri ana
sendiri, entah bagaimana akan diri ini nantinya?” Azizul pun berhenti bertutur.
Begitu dahsyatnya akan keresahan santri
itu, sungguh ini tidak bisa dijawab dengan sembarang jawaban. Apalagi tentang
hal yang menyangkut dirinya itu. Sungguh ini sebuah kemelut.
“Dan lagi supaya anta tahu, ana juga ada sebuah
puisi. Memang tidak mahir membacanya. Tapi untuk hari ini cuba dengar akan
puisi ini,” Azizul menyambung lagi kata-katanya yang sempat terputus oleh
diamnya sendiri tadi. Syukri pun belum sempat menjawab akan sekalian kegundahan
hatinya Azizul.
Dan inilah puisinya itu.
Bipolar
Karya:Syukri
Isa Bluka Teubai
Sedih sendiri oleh sebab yang tak pasti
Menangis
kadang tak henti dan tak bertepi
Terasa
diri tak berarti dan tak dihargai
Malah
sering merasakan sepi sendiri
Hidup bagai
tak terarah dan bukan salah
Tak suka
pada yang megah apalagi yang indah
Tak ada
tempat tercurah sehingga itu pecah
Ibarat
simalakama yang salah kaprah bukan salah pada tingkah
Hasrat
ingin menyendiri di tempat yang paling sunyi
Sebenarnya
bukan tak ingin di temani
Terus
langkah membawa kaki sambil menari-nari
Selalu
ingin jauh untuk pergi
Mereka
semua tahu tentang itu
Tentang
bagaimana Aku
Bahkan
mereka sangat paham akan diriku
Tapi apa,
mereka semua membisu kaku
Jauh
sudah Aku terdampar bahkan terkapar
Lama
sudah Aku bersabar dan terus beristighfar
Kau pikir
Aku tak sadar dan tak tahu khabar
Aku tau
kau itu Bipolar yang menggelegar
Bluka
Teubai, 2009 - 2015
(BIPOLAR
ialah salah satu Penyakit mematikan yang akan bersebab pada gangguan jiwa
(gila, stres). Penderitanya suka menyendiri, selalu mengurung diri di dalam
kamar. Penyebabnya, kebanyakan karena ada sesuatu yang tak tersampaikan,
tercita-citakan. Senantiasalah merespon akan Anak-Anak anda, Family, Jiran, dan
sesama Manusia.)
Setelah membaca puisi itu ia tertidur, seakan
tidak perlu lagi akan jawaban-jawaban dari kawannya tadi.
“SSSSTTiiiststttt, ana mahu tidur sebentar,
jangan ribut lagi,” suara Edi Dhok mengingatkan sekalian kawannya yang masih
asyik dengan cerita-cerita mereka.
Dan sekarang, mereka terlelap dalam tidur
siang kala itu. Wajah-wajah yang belum berdosa, begitu tenang menggapai harapan
di dalam mimpi yang akan datang, dan menjadi akan kenyataan bagi semua manusia.
Khususnya bagi segenap mereka yang sudah sangat berjasa demi Misbahul Ulum
tercinta siapapun ia. Dan nanti malam semua santri itu akan bergelut dengan
Malam Seribu Hadiah (Aneka Ria).
Akanlah seterusnya menjadi tugas kita
dalam menjaga, menyelesaikan berbagai elegi, mengembankan amanah suci, setelah
sekalian kita berdikari di bawah payung Misbahul Ulum yang berwarna pelangi
ini.
“DI ATAS DAN UNTUK SEMUA GOLONGAN”
Tamat
0 Comments