Gambarilustrasi@Syukriisablukateubai
BAK JAMPEE ITAM
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai
Sejauh
mata memandang, aliran-aliran sungai terus mengalir ke hadapan. Begitu pula
masa-masa tentang kehidupan. Adalah pohon tua hitam, besar batang, banyak
cabang, tinggi menjulang. Menjadi kepercayaan banyak orang tentang hal-hal
ghaib yang ada di sana.
Konon
pohon tua hitam, tumbuh dengan sendirinya sudah terkenal dari masa kolonial Belanda sampai sekarang. Tumbuh di antara pohon-pohon Pandan dan Mangrove,
diapit oleh sungai kecil yang bermuara ke laut dan juga dikelilingi oleh
tambak-tambak yang ada di sampingnya.
Tersiar
kabar pada malam hari, bak Jampee Itam itu adalah tempat bagi para makhluk-makhluk
ghaib, bermacam ragam makhluk ghaib ada di sana.
Raja Itam
adalah sosok yang paling sering dijumpai oleh warga yang lewat dari sana pada
malam hari. Kerana memang salah satu jalan pintas menuju ke laut harus melewati
pohon tua itu. Raja Itam orang-orang menyebutnya, sesuai dengan sosok yang
tinggi besar, hitam, berjenggot dan berkepala botak.
Tiada
jarang bagi yang melihat sosok itu akan jatuh sakit berhari-hari ada juga yang
sakitnya sampai pada ajal orang tersebut. Memang hal yang demikian sudah menjadi
rahasia umum bagi warga kampung Belukar, itu bukanlah hal yang baru lagi bagi
mereka.
Belukar
salah satu kampung, rata-rata penduduknya nelayan, petambak ikan, udang dan
pembuat garam. Terletak di pesisir pantai utara yang berselat Malaka, berkecamatan Dewantara tepatnya barada di Provinsi Aceh.
Nek Puteh
adalah pemilik tanah yang ditumbuhi pohon tua tersebut, ialah orang yang bisa
leluasa pulang pergi ke tempat itu, walaupun demikian tiada berlaku bagi seluruh
keluarganya, hanya beberapa sahaja dari mereka.
Tambak
luas nek Puteh dengan ikan-ikan bandeng yang besar. Hidup aman jarang
kehilangan dan selalu mendapat keuntungan pada setiap waktu panen, kerana memang bak Jampee tersebut adanya di sana, pencuri akan takut pergi ke tempat itu.
Kebiasaan
orang mencari Kepiting pada malam hari sudahlah menjadi lumrah. Setiap aliran
sungai akan dijejaki tapi ingat ada pengecualiannya, pantang mereka melewati
aliran di bawah pohon tua tersebut. Kerana memang beberapa kejadian seiring
terjadi dan bahkan Apa Ma’un baru genap satu tahun meninggal dunia setelah ia
melewati aliran sungai di bawah pohoh tua tersebut.
“Malam Jum’at itu, saya mencari Kepiting.
Sudah banyak yang saya temukan, Kepiting-Kepiting besar dan Udang. Banyak
sekali sudah saya temukan lebih dari cukup untuk dimakan dan yang tinggal juga
akan dapat banyak uang kalau dijual.Tetapi bagai tidak sadar terus saya
melangkah dan dapat lagi kepiting itu, terus melangkah dan terus melangkah,” Apa
Ma’un terus barkata-kata.
“Tersentak, seluruh tubuh saya bagai
dialiri aliran listrik, gemetar, berkeringat dingin, bulu-bulu kuduk merinding
seakan seluruh badan terasa kaku. Kurang disadari entah berapa detik,
menit dan jam kejadian itu berlaku. Pada sa’at itu, saya melihat sebuah
bangunan bak Istana yang megah, pernak pernik
berkilauan dengan segenap keindahan laksana sebuah Kerajaan,” belum juga
ia berhenti dari ceritanya.
“Para penghuni pada sa’at itu sepertinya
sedang melakukan sebuah rutinitas yang tidak saya mengerti tentang itu. Saya
yang berdiri tepat di tengah-tengah kerumunan mereka tidak dihiraukan bahkan
mereka sedikitpun tidak acuh dengan kehadiran saya, entah saya tidak bisa
dilihat oleh mereka ataupun memang mereka tidak peduli dengan kehadiran diri ini.
Saya sangat terpana dengan apa yang sedang berlaku di hadapan mata, dengan jelas melihat mereka,” masih banyak berelegi ianya.
“Degup jantung berhenti. Tepat anak panah
itu bersarang di uluhati, terasa bagai terbakar seluruh badan di jiwa. Entah
dari mana datangnya anak panah itu. Para penghuni Istana, sekali lagi tidak acuh
dengan keadaan saya yang sekarang ini, terus melihat ke segenap penjuru tidak
ada seorang pun yang saya temukan,” Apa Ma’un masih juga menyambung sedemikian
laksanya.
Bersambung................, nantikan bagian D2.
0 Comments