Jika Aku Mati Siapa yang Akan Bertanggung
Jawab?
Aspal
yang hitam pekat itu terus terinjak oleh ban sepeda, kereta/motor, mobil, dan
siapa sahaja yang lalu lalang di atasnya dan tiada yang akan merasa kasihan
padanya. Nakeuh, ia (aspal) memang sudah menjadi ketentuan bahaginya untuk
dipijaki oleh siapa, apa sahaja yang berlalu di atasnya. Tanpa terkecuali,
semua akan menapakinya sebagai tempat landasan.
Adalah
sebuah anugerah yang sangat luar biasa bahagi sekalian umat ini, dengan adanya
jalan yang beraspal bisa membantu, memudahkan setiap pergerakan yang dilakukan
oleh siapa, apa sahaja yang dilakukannya. Semakin jalan yang beraspal itu
mulus, maka sedemikiannya pula akan kemudahan bahagi mereka mereka yang akan berlalu.
Mahlil,
nama salah seorang pelajar di Sekolah Menengah ke Atas (SMA) di kampungnya.
Saban hari, ia selalu pergi ke sekolahnya melalui jalan beraspal pekat yang
berada di hadapan rumahnya itu. Bahkan ke manapun ia bepergian pasti akan
melewati satu satunya jalan itu, baik di siang mahupun malam hari.
Suatu
pagi, Mahlil terburu buru untuk pergi ke sekolah, kerana di pagi itu ada
beberapa pekerjaan yang harus dilakukan olehnya sebelum menuju ke tempat ia
menuntut ilmu tersebut. Maka di kala bepergi ia harus memacu keretanya dengan
kecepatan tinggi, jikalau tidak. Mahlil akan terlambat sampai di sekolah.
Kerana
sekolah tempat ia belajar tersebut menetapkan kebiasaan bahagi semua mereka
untuk tepat waktu, baik itu guru apalagi peserta didik yang ada di tempat
tersebut. Maka dariitu, ia merasa tiada enak nantinya jikalau sahaja sempat
terlambat datang.
Walau
tiada hukuman bagi siapa sahaja yang terlambat, akan tetapi perasaan yang sudah
tiada lagi merasakan ketenangan apabila melanggar peraturan yang tiada tertulis
itu. Dan berawal dari setelah digantinya kepala sekolah lama, peraturan ini
berlaku. Nakeuh, orang nomor satu baru di sekolahnya itu yang memulai
pada kebiasaan tiada terlambat.
Maka
dengan sendirinya peraturan tersebut berjalan pelan pelan, sehingga siswa
seperti Mahlil sahaja merasa tiada enak hati jikalau sempat terlamabat datang
di waktu yang telah ditentukan. Walau kesemua itu dipengaruhi oleh kebiasaan,
bukan oleh tekanan dan hukuman yang diberlakukan di sana.
Setelah
setengah dari perjalanan, sudah pasti dengan tiada kesengajaanya. Lalu ia
menabrak seekor ayam jantan, besar, berbulu indah. Binatang itupun tertabrak
oleh kecepatan pacuan kereta yang tinggi, ayam jago berbulu merah kekuningan
itupun mati dan tergeletak di parit jalan beraspal tersebut.
Jangan ketinggalan, baca juga cerpen; Tuhan Akan Menyatukan Kita, India dan Cinta, Sebuah Pengakuan, Pemimpin Cengeng dan Sehelai Sapu Tangan.
Mahlil
tiada berhenti dan ia pun tiada terjatuh tiada kenapa napa ianya oleh sabab
dari kejadian itu, ia hanya menoleh sesa’at sahaja ke belakang dan ia tiada tahu
menahu akanpada ayam jago yang malang tersebut entah, ayam itu punya siapa, pasti
yang terfikir di benaknya di kala waktu janganlah sampai terlambat tiba di
sekolah.
Pada
waktu yang diinginkan iapun sampai di sekolah dan tiada terlambat akannya,
suasana di sekolah seperti biasa. Yangmana kepala sekolah baru itu, terlihat
tengah duduk di pos satpam, dan memang begitulah kebiasaannya. Guru guru yang
dulu sering datang terlambat, oleh kerana kebiasaan orang nomor satu sekarang
ini. Mereka mereka itupun sudah datang tepat pada waktunya, sebelum tepat pada pukul
delapan pagi.
Kegiatan belajar-mengajarpun berjalan lancar
seperti biasa, seperti yang diharapkan, tiada terasa berhinggalah pada masa
usai dari jam belajar-mengajar di hari itu. Mahlil pun kembali pulang ke rumah
dengan memacu kereta merk hondanya tersebut, dan tiada terburu buru lagi.
Ketika
sampai di tempat ia menabrak ayam tadi, ia melambatkan laju kereta yang tengah
dikendarainya tersebut, dilihatnya binatang itu tiada lagi bertempat di sana.
Ia pun kembali menambah sedikit tekanan pada gas di keretanya itu, terus
berlalu pergi meninggalkan tempat kejadian dan setelahnya sampailah ia di
rumah.
Adapun di
waktu sore pada hari yang sama, adalah seseorang yang mencarinya ke rumah. Dan
kebetulan ia berada di atas sebuah balai di hadapan rumah orang tuanya itu. Nakeuh,
beberapa orang dari keluarganya juga turut bersantai sore di atas balai bambu
tersebut dan memang sudah menjadi kebiasaan keluarganya, bersantai sore di atas
hamparan bambu itu.
“Assalamu’alaikum?” Seorang tamu pria
yang datang tadi memberi salam.
“Wa’alaikum salam, neu piyoh” jawab semua
mereka yang ada di atas balai tersebut begitu juga Mahlil tiada ketinggalan
untuk menjawab salam, sekaligus mempersilahkannya untuk duduk di atas balai
itu.
“Tadi pagi kamu menabrak mati ayam jago
kesayang saya, dan saya mahu kamu bertanggung jawab, membayar ganti rugi!” Pria
yang memakai baju kemeja biru berlengan panjang itu memulai percakapannya yang
langsung mengarah ke pokok persoalan, ia masih berdiri walau sudah
dipersilahkan ke atas balai.
“Ia, saya yang menabrak ayam bapak!”
Mahlil menjawab. Semua mereka yang berada di atas balai hanya terdiam, termasuk
orang tua Mahlil. Dan tiada satu pun dari mereka yang menyahut, bertanya tanya.
“Coba, tadi pagi. Saya yang mati kerana
terjatuh dari kereta oleh sabab menabrak ayam itu! Mungkinkah bapak akan datang
ke rumah saya dan bersedia untuk bertanggung jawab penuh atas kematian saya?”
Mahlil bertanya lagi sembari terus berkata kata.
“Kalau sahaja saya dapat musibah tadi
pagi, pasti tak ada yang mahu mengaku bahawa ayam itu ada pemiliknya. Dan
sampai kapanpun ayam itu tiada yang punya!” Mahlil geram.
Semua mereka
yang berada di atas balai di sore hari itu terdiam, termasuk pria yang datang
menagih pertanggung jawaban. Setelah beberapa menit, Mahlil selesai berbicara.
Pria itupun meminta diri untuk pulang dan tiada menagih lagi akanpada ganti
rugi.
Setelah
pulangnya penagih tanggung jawab itu, suasana sore hari tersebut pun menjadi
seperti sedia kala. Yangmana ketegangan sudah berubah menjadi ajang canda-tawa.
Mereka mereka yang ada di atas balai itu kembali melanjutkan cerita yang sempat
terpotong olek kerana kedatangan pemilik ayam yang tertabrak oleh Mahlil.
Ruri yang
dari tadi berada di atas balai
bersama-sama keluarganya tersebut turun dengan sendirinya, ia tiada
berkata-kata walau satu patah kata sahaja. Namun dengan seketika ia masuk ke
dalam rumah orang tuanya, dan terlihat membawa keluar sebilah parang di
tangannya.
“Mahu ke mana itu Polem?” tanya ibu Ati,
sembari mencandainya, yang tiada lain adalah kakak kandung dari ibunya
tersebut. Iaitu ibunya Mahlil.
“Saya mahu memotong beberapa bambu untuk
membuat kandang ayam, kerana takut nanti jikalau ayam itu tertabrak oleh, siapa
sahaja mungkin. Dan penabraknya kenapa-napa, saya tiada punya uang untuk
mengobatinya. Akan tetapi harus saya obati, kerana ayam itu punya dan tanggung
jawab saya. Menjadilah pelajaran berharga hari ini, atas apa yang sudah terjadi
terhadap bang Mahlil,” Ruri terlihat serius dikala berucap dengan kakak dari
ibunya tersebut.
Mendengar jawaban Ruri, mereka mereka
yang ada di atas balai itu. Semakin menjadi jadinya bercanda di sore hari
tersebut, yang pertama Ruri itu masih kelas tiga di Sekolah Dasar (SD) di
kampung tersebut. Akan tetapi ia sangat bersimpati pada kejadian yang dialami
oleh abang sepupunya itu. Kerana ia juga memiliki seekor ayam jago yang amat
sangat disayanginya.
Syukri Isa Bluka Teubai, penyuka sastra.
0 Comments