Cerpen; Jika Aku Mati Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?



Jika Aku Mati Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?
Karya; Syukri Isa Bluka Teubai


Aspal yang hitam pekat itu terus terinjak oleh ban sepeda, kereta/motor, mobil, dan siapa sahaja yang lalu lalang di atasnya dan tiada yang akan merasa kasihan padanya. Nakeuh, ia (aspal) memang sudah menjadi ketentuan bahaginya untuk dipijaki oleh siapa, apa sahaja yang berlalu di atasnya. Tanpa terkecuali, semua akan menapakinya sebagai tempat landasan.

Adalah sebuah anugerah yang sangat luar biasa bahagi sekalian umat ini, dengan adanya jalan yang beraspal bisa membantu, memudahkan setiap pergerakan yang dilakukan oleh siapa, apa sahaja yang dilakukannya. Semakin jalan yang beraspal itu mulus, maka sedemikiannya pula akan kemudahan bahagi mereka mereka yang akan berlalu.

Mahlil, nama salah seorang pelajar di Sekolah Menengah ke Atas (SMA) di kampungnya. Saban hari, ia selalu pergi ke sekolahnya melalui jalan beraspal pekat yang berada di hadapan rumahnya itu. Bahkan ke manapun ia bepergian pasti akan melewati satu satunya jalan itu, baik di siang mahupun malam hari.

Suatu pagi, Mahlil terburu buru untuk pergi ke sekolah, kerana di pagi itu ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan olehnya sebelum menuju ke tempat ia menuntut ilmu tersebut. Maka di kala bepergi ia harus memacu keretanya dengan kecepatan tinggi, jikalau tidak. Mahlil akan terlambat sampai di sekolah.

Kerana sekolah tempat ia belajar tersebut menetapkan kebiasaan bahagi semua mereka untuk tepat waktu, baik itu guru apalagi peserta didik yang ada di tempat tersebut. Maka dariitu, ia merasa tiada enak nantinya jikalau sahaja sempat terlambat datang.

Walau tiada hukuman bagi siapa sahaja yang terlambat, akan tetapi perasaan yang sudah tiada lagi merasakan ketenangan apabila melanggar peraturan yang tiada tertulis itu. Dan berawal dari setelah digantinya kepala sekolah lama, peraturan ini berlaku. Nakeuh, orang nomor satu baru di sekolahnya itu yang memulai pada kebiasaan tiada terlambat.

Maka dengan sendirinya peraturan tersebut berjalan pelan pelan, sehingga siswa seperti Mahlil sahaja merasa tiada enak hati jikalau sempat terlamabat datang di waktu yang telah ditentukan. Walau kesemua itu dipengaruhi oleh kebiasaan, bukan oleh tekanan dan hukuman yang diberlakukan di sana. 

Setelah setengah dari perjalanan, sudah pasti dengan tiada kesengajaanya. Lalu ia menabrak seekor ayam jantan, besar, berbulu indah. Binatang itupun tertabrak oleh kecepatan pacuan kereta yang tinggi, ayam jago berbulu merah kekuningan itupun mati dan tergeletak di parit jalan beraspal tersebut.
Mahlil tiada berhenti dan ia pun tiada terjatuh tiada kenapa napa ianya oleh sabab dari kejadian itu, ia hanya menoleh sesa’at sahaja ke belakang dan ia tiada tahu menahu akanpada ayam jago yang malang tersebut entah, ayam itu punya siapa, pasti yang terfikir di benaknya di kala waktu janganlah sampai terlambat tiba di sekolah.

Pada waktu yang diinginkan iapun sampai di sekolah dan tiada terlambat akannya, suasana di sekolah seperti biasa. Yangmana kepala sekolah baru itu, terlihat tengah duduk di pos satpam, dan memang begitulah kebiasaannya. Guru guru yang dulu sering datang terlambat, oleh kerana kebiasaan orang nomor satu sekarang ini. Mereka mereka itupun sudah datang tepat pada waktunya, sebelum tepat pada pukul delapan pagi.

 Kegiatan belajar-mengajarpun berjalan lancar seperti biasa, seperti yang diharapkan, tiada terasa berhinggalah pada masa usai dari jam belajar-mengajar di hari itu. Mahlil pun kembali pulang ke rumah dengan memacu kereta merk hondanya tersebut, dan tiada terburu buru lagi.

Ketika sampai di tempat ia menabrak ayam tadi, ia melambatkan laju kereta yang tengah dikendarainya tersebut, dilihatnya binatang itu tiada lagi bertempat di sana. Ia pun kembali menambah sedikit tekanan pada gas di keretanya itu, terus berlalu pergi meninggalkan tempat kejadian dan setelahnya sampailah ia di rumah.

Adapun di waktu sore pada hari yang sama, adalah seseorang yang mencarinya ke rumah. Dan kebetulan ia berada di atas sebuah balai di hadapan rumah orang tuanya itu. Nakeuh, beberapa orang dari keluarganya juga turut bersantai sore di atas balai bambu tersebut dan memang sudah menjadi kebiasaan keluarganya, bersantai sore di atas hamparan bambu itu.

“Assalamu’alaikum?” Seorang tamu pria yang datang tadi memberi salam.

“Wa’alaikum salam, neu piyoh” jawab semua mereka yang ada di atas balai tersebut begitu juga Mahlil tiada ketinggalan untuk menjawab salam, sekaligus mempersilahkannya untuk duduk di atas balai itu.

“Tadi pagi kamu menabrak mati ayam jago kesayang saya, dan saya mahu kamu bertanggung jawab, membayar ganti rugi!” Pria yang memakai baju kemeja biru berlengan panjang itu memulai percakapannya yang langsung mengarah ke pokok persoalan, ia masih berdiri walau sudah dipersilahkan ke atas balai.

“Ia, saya yang menabrak ayam bapak!” Mahlil menjawab. Semua mereka yang berada di atas balai hanya terdiam, termasuk orang tua Mahlil. Dan tiada satu pun dari mereka yang menyahut, bertanya tanya.

“Coba, tadi pagi. Saya yang mati kerana terjatuh dari kereta oleh sabab menabrak ayam itu! Mungkinkah bapak akan datang ke rumah saya dan bersedia untuk bertanggung jawab penuh atas kematian saya?” Mahlil bertanya lagi sembari terus berkata kata.

“Kalau sahaja saya dapat musibah tadi pagi, pasti tak ada yang mahu mengaku bahawa ayam itu ada pemiliknya. Dan sampai kapanpun ayam itu tiada yang punya!” Mahlil geram.

Semua mereka yang berada di atas balai di sore hari itu terdiam, termasuk pria yang datang menagih pertanggung jawaban. Setelah beberapa menit, Mahlil selesai berbicara. Pria itupun meminta diri untuk pulang dan tiada menagih lagi akanpada ganti rugi.

Setelah pulangnya penagih tanggung jawab itu, suasana sore hari tersebut pun menjadi seperti sedia kala. Yangmana ketegangan sudah berubah menjadi ajang canda-tawa. Mereka mereka yang ada di atas balai itu kembali melanjutkan cerita yang sempat terpotong olek kerana kedatangan pemilik ayam yang tertabrak oleh Mahlil.

Ruri yang dari tadi berada di atas balai  bersama-sama keluarganya tersebut turun dengan sendirinya, ia tiada berkata-kata walau satu patah kata sahaja. Namun dengan seketika ia masuk ke dalam rumah orang tuanya, dan terlihat membawa keluar sebilah parang di tangannya.

“Mahu ke mana itu Polem?” tanya ibu Ati, sembari mencandainya, yang tiada lain adalah kakak kandung dari ibunya tersebut. Iaitu ibunya Mahlil.

“Saya mahu memotong beberapa bambu untuk membuat kandang ayam, kerana takut nanti jikalau ayam itu tertabrak oleh, siapa sahaja mungkin. Dan penabraknya kenapa-napa, saya tiada punya uang untuk mengobatinya. Akan tetapi harus saya obati, kerana ayam itu punya dan tanggung jawab saya. Menjadilah pelajaran berharga hari ini, atas apa yang sudah terjadi terhadap bang Mahlil,” Ruri terlihat serius dikala berucap dengan kakak dari ibunya tersebut.

Mendengar jawaban Ruri, mereka mereka yang ada di atas balai itu. Semakin menjadi jadinya bercanda di sore hari tersebut, yang pertama Ruri itu masih kelas tiga di Sekolah Dasar (SD) di kampung tersebut. Akan tetapi ia sangat bersimpati pada kejadian yang dialami oleh abang sepupunya itu. Kerana ia juga memiliki seekor ayam jago yang amat sangat disayanginya. 


Syukri Isa Bluka Teubai, penyuka sastra.

Post a Comment

0 Comments