Tuhan Akan Menyatukan Kita




Tuhan Akan Menyatukan Kita



“Tiada usah menangis kasih, jangan bersusah hati pada hal hal yang itu belum tentu akan berlaku, kerana Tuhanlah Yang Maha Penentu, bukan oleh status status yang tak begitu perlu,” Zul, tengah menghibur akan kekasih haramnya yang berada di seberang telepon, keduanya tengah berjauhan.

Pasir pasir bermandikan air hijau kebiruan laut Pulo Aceh, hari Sabtu sore, di tepian halak yang kian berombak, menghantam, melintang bergedebam. Zul tengah bercakap cakap lewat Handphone-nya. Adalah permasalahan cinta, ia tengah menggundah pada asa. Cinta yang tiada direstui oleh orang tua si dara, kerana Zulfan bukan dilatar belakangi oleh keluarga yang ada akan status status sebelum nama di belakang nama mereka.

Bersabab pada hal yang demikian, orang tua Laila tiada pernah memberi restu kepada Zul yang sudah lama ingin melamar dara ceudah -cantik- itu. Dan orang tuanya pun mengetahui akan hubungan mereka yang juga telah sangat lama terbina, walau jarang jarang berjumpa keduanya itu.

Selepas lulus Sekolah Menengah ke Atas (SMA), dari sebuah tempat berasrama yang jauh dari kampung halaman masing masingnya, sesudah itu, tiada lagi pernah berjumpa akan keduanya, Permata Laila melanjutkan kuliahnya di Medan, Sumatera Utara. Adapun Zulfan, pada sa’at itu hijrah ke Thailand.

Semenjak berada di sekolah menengah ke atas di tempat berasrama tersebut, Zul sudah terlibat dengan gerakan Aceh Merdeka, suatu organisasi rakyat pimpinan Hasan Muhammad Di Tiro atawa yang lebih dikenal, terkenal dengan nama Hasan Tiro. Maka tak kala tamat dari sekolah itu, ia harus hijrah ke Thailand.

Sesudah tamat dari SMA akan hubungan asmara antara keduanya, Zulfan dan Permata Laila hanya melayang layang di udara sahaja. Semasa di tempat berasrama tersebut, akan cinta sudahlah terjalin antara keduanya. Bisa dimaklumi bagaimana akan cinta yang terjalin di tempat itu semasa SMA. Bahagi siapa sahaja yang pernah tinggal, merasakan sekolah berasrama akanlah tahu bagaimana keindahannya.

Oleh kerana dari kejauhan hanya bisa mengerling pandang, setelah seutas senyuman bermekaran dari wajah kekasih harapan. Cukuplah untuk seminggu menenangkan hati di dalam jasad kehidupan, begitulah seterusnya akan cinta yang dirasai oleh anak asrama, mereka tahu agama dan di tempat itu pun diajarkan tentang apa itu halal-haram. Tiada boleh bercampur antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat mereka tersebut.

Jika pun sesekali waktu pernah berpapasan dengan kaum hawa, bergetarlah jiwa, apalagi akan rasa yang ada di dalamnya. Hanya berlalu dan berlalu, tinggallah wewangian menemani hembusan demi hembusan nafas kerana sudahlah ma’ruf akan sekalian perempuan suka bermandikan parfum. Di tempat itu tidak ada tegur sapa dan jangan pernah berharap untuk bisa bercanda dengan hawa sesuka.

Permata Laila, nama lengkap akan kekasih haram daripada Zulfan. Bertahun tahun cinta itu belum juga direstui oleh orang tua Laila. Tuan Lie ayah dara itu, tetap berpegang teguh kepada kebiasaan yang sudah mendarah daging bahaginya, dari moyangnya sampai dengan keturunannya hingga sa’at ini, ia masih berpegang pada kebiasaan tersebut.

Adalah anak perempuan yang berstatus hadapan (khusus) harus dinikahkan dengan lelaki yang juga berstatus hadapan (khusus) pula di hadapan nama mereka. Namun Zul bukan dari mereka yang demikian, Zulfan tidak diawali dengan lakap khusus sebelum namanya walaupun iaitu seorang anak Aceh asli.

“Dik, sungguh  tak usah lagi bersedih begitu. Besok masih ada Selasa, Rabu, Kamis dan seterusnya pastilah berlaku dan akan berlalu. Tenangkan rasa yang ada di qalbumu. Abang tahu bagaimana akan rasa yang ada di dalam hati yang tengah berkecamuk itu.”

“Jangan berlarut larut dalam kesedihan, masih banyak yang perlu dipikirkan apalagi untuk dilakukan. Ingat adikku, perjalan ini masih sangat sangat jauh ke hadapan. Jangan habiskan waktumu dalam kelalaian sedih itu,” Zul mengingatkan lagi akan pujaannya itu.

Pemuda yang tinggal di pulau paling ujung Sumatera tersebut masih berteman ombak, yang senantiasa menggulung tepian laut kampungnya. Ia masih juga bercakap cakap memakai Handphon-nya, tiada peduli ianya pada rerintik hujan yang mulai menepungtawari dirinya dengan percikan percikan bersahaja. Hari mulai senja. Setengah jam sudah ia berbicara dengan Permata Lailanya.

Seorang pemuda yang bertekad dan mempunyai keteguhan pada sikapnya, ia tiada pernah sekalipun untuk mundur dari kesungguhan cintanya kepada Laila. Bahpun orang tua dara tersebut sudah beberapa kali menolak akan lamarannya, namun ia tetap pada prinsip dasar hatinya.

“Tuhan akan menyatukan cinta dan kita pada sa’atnya, aku yakin itu akan terjadi,” itulah akan kekata penyemangat diri yang senantiasa masih membuat dirinya itu tetap bersemangat, itulah kata kata penyemangat yang selalu, masih selalu terpahat di dalam dirinya. Begitulah akanpada keyakinan sang pemuda tersebut.

Adalah waktu waktu di hadapan ini, Zul bekerja di salah satu tempat tapi bukan di daerahnya, dan ia juga pernah pergi ke beberapa negara tak kala negerinya masih berkecamuk perang. Ia juga mampu berbagai bahasa. Pernah menjadi penerjemah bahagi warga negara asing yang datang ke daerahnya di kala perang sudah reda.

Dan di masa negerinya masih berkecamuk perang, dulu, ia juga salah seorang yang terlibat langsung sebagai tentara pembela Nanggroe. Pernah dipenjara. Tsunami dan MoU Helsinki 15 Agustus 2005, merupakan cerita awal daripada bebasnya dari dalam sel tahanan. Begitu juga dengan keadaan negerinya, orang orang Aceh. Pada tanggal 15 Agustus tahun 2005, lepas daripada perang yang berkepanjangan.  

Hubungan akan hubungan tetap, masih terbina antara keduanya. Walaupun beberapa saudara sudah menyarankan keduanya, masing masing saudara mereka, sudah pernah menyarankan untuk bahagi keduanya untuk menikah sahaja dengan yang lainnya. Kerana umur si perempuan sudah di atas dua puluh lima tahun lebih di kala waktu.

Begitu juga dengan lelaki itu ia sudah berumur di atas tiga puluhan tahun, walau pada dasarnya akan lelaki tiada begitu risau akanpada umur mereka. Akan tetapi tiada semua lelaki yang berfikir demikian, banyak juga yang berfikir untuk menikah di umur dua puluh lima tahun ke atas, berlandaskan pada kemapanan dan pada pribadi dan utamanya oleh kerana rezeki masing masing mereka.

Kerana adalah suatu kebohongan yang nyata, apabila seorang lelaki sudah berumur di atas dua puluh lima tahun, sudah pada waktunya untuk membina rumah tangga, tapi belum ada kemapanan terutama materi. Akanlah untuk menikahi seorang dara pilihan, belumlah memungkinkan.

Setelah percakapan di antara Zul dan Laila usai, di sore hari yang berteman gerimis akan hujan tersebut. Waktu waktu masih sahaja seperti biasanya, belumlah ada perbedaan pada dasarnya. Oleh kerana malam akan berganti malam, matahari pagi ini belum tentu akan cerah di keesokannya. Bersabablah langkah harus tetap ditapaki. Berbagai elegi telah terjadi, pahit-manis kehidupan (cinta) telah sama sama dirasai.

Bersampailah pada waktu yang keduanya tiada pernah disangka sangka, mereka tak pernah menyangka, dan berhinggalah bahagi keduanya menikah. Acarapun berlaku dengan khidmat dan sangat bersahaja, menjadikan itu contoh bahagi setiap yang lainnya. Lika liku kehidupan seorang manusia pasti berbeda dengan seorang manusia lainnya, bahpun triliunan mereka ada di atas permukaan dunia ini.

Tuhan telah pun berkehendak atas hubungan mereka, sehingga sampai, menyatu antara keduanya. Hari hari berlalu, bulan dan tahun pun begitu. Sekarang mereka sudah dikaruniai dua orang buah hati. Anak pertama seorang lelaki ganteng, anak kedua mereka adalah seorang perempuan yang sangat manis lagi cantik. Menjadilah mereka sebuah keluarga bahagia yang kini telah terbina dan berhinggalah sampai untuk selamanya. Sampai ajal memisahkan jasad dengan cinta.

Sekarang ini, Zulfan pun sudah menjadi salah seorang yang sangat sangat dihargai di negerinya, ianya telah menjadi orang nomor satu di ibukota daerahnya. Keluarga bahagia itu pun sekarang ini sudah menetap di ibukota provinsi negerinya tersebut.

Adalah usaha, berhinggalah pada tercapainya cita cita. Dan untuk kesekian kalinya, berbahagialah mereka, tiadalah semuanya bergantung pada status status itu. Bila Tuhan ingin berkehendak, sungguh tiada manusia yang akan mampu untuk menyangkalnya.

Syukri Isa Bluka Teubai, penyuka sastra.

Post a Comment

0 Comments