Ilustrasi @Syukri Isa Bluka Teubai
Pemimpin Cengeng dan Sapu Tangan
Oleh; Syukri Isa Bluka Teubai
“Oma e, oma e, aneuk meutuah ma, pu
kapeugah nyan gam, tanyoe hana sapu na, tanyoe ureng gasin nyak e, bek
kapeugah nyang ken ken neuk e (aduh, aduh, anak kesayang ibu, bilang apa kamu
anak lelakiku, kita tidak punya apa apa, kita ini orang miskin sayang,
jangan berkata macam macam duhai buah hatiku),” resah sang ibu Manawiah, oleh
sabab anak lelakinya Belukar, berkata kata kata dengan perkataan yang tidak
sewajarnya ia katakan. Kerana masih berumur senja ianya itu.
Adapun
Belukar kecil berkata dalam tanyanya kepada
sang ibu, “mak -ibu-, kenapa harus ada pemimpin di dunia ini, dan kenapa
harus ada yang memimpin?” Dengan pertanyaan itu sahaja Ibunya sudah resah
bagaimana, entah kenapa ibu itu sebegitunya.
Dalam
harap gundah, sang ibu belum pun menjawab pertanyaan Belukar kecil. Dipikirnya
anak itu sedang bercanda dengannya, atawa ia sedang hanyut dalam permainan
membacanya. Belukar berhidung mancung itu sedang bermain dengan buku bacaannya, membaca sudah menjadi mainannya walau masih belum lebat akan Belukar itu.
Keranalah
masih bertanya tanya dan sekarang ditarik akan tangan sang pemilik rumah itu olehnya.
Sang ibu itupun baru sadar bahawa sikecil anak agamnya itu benar kepadanya bertanya. Sejenak
ia berhenti dari menggiling bumbu masak di waktu yang hampir menjelang siang
sambil meletakkan batu padat persegi bulat yang sedari tadi dipegang, batu itu kemudian diletakkan di tempatnya, adalah mereka tengah berdua di rumah, ayah, kakak, dan abang abang si Belukar yang lain, mereka tengah sibuk melakukan
kegiatan masing masing di luar rumah.
Ayahnya,
bekerja di perusahaan garam milik pribadi keluarga itu, satu orang kakaknya
lagi kuliah dan disibukkan oleh tesis akhir dari tugas S2 nya. Kakak yang satu
lagi sudah menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan bekerja di rumah Sakit Umum
di daerahnya. Dan dua orang abangnya itu masih menetap dan sudah sepuluh tahun
belajar/mengajar di sebuah dayah Salafi yang sedikit jauh dari kampungnya itu,
setamat dari Sekolah Dasar kedua abangnya itu langsung dihantar ke dayah
oleh orang tuanya.
“Kenapa dulu anakku ini mengganggu
kerja ibu, nanti bisa telat ibu memasak untuk ayahmu. Dan lihat sekarang
sudah jam sebelas, jam dua belas ayahmu akan pulang dan makan bersama kita,” setelah mencuci tangannya ibu Manawiah dengan geram manjanya menimang
si buah hati itu.
“Ini Mak, lihat tulisan di buku ini, saya
bingung kenapa sampai jua tertulis begini?” Belukar kecil sambil menjulurkan
tangan menampakkan akan pertanyaan di dalam buku itu kepada ibu terkasihnya.
Dan
perempuan berperangai embun itu pun mendirikan si Belukar di atas lantai semen
rumahnya, setelah itu ia beranjak duduk di atas sehelai Tikar Pandan warna-warni bak
pelangi setelah hujan membasahi bumi. Lalu Belukar pun didudukkan dalam
pangkuannya, mengambil buku tadi, melihat dan sekarang ia menjawab sekaligus
ikut membaca buku itu.
“Di dunia ini wajib ada pemimpin, dan
wajib ada yang memimpin. Seperti ayahmu, ia wajib memimpin kita semua, rumah
tangga ini. Kerana memang ialah pemimpin dan terlahir ianya khusus untuk memimpin
(walau hanya memimpin diri dan kerana kita semua adalah pemimpin).
Dan jikalau
sahaja tidak ada pemimpin ke mana kita nak mengadu, dan kepada siapa kita nak
berkeluh kesah, meminta sesuatu,” ibu itu menjawab akan sekalian pertanyaan
anaknya dengan semampu mungkin, dan supaya Belukar yang belum lebat itu pun
mampu memahaminya.
Ibu itu
terus larut dalam ceritanya, sayup sayup terdengar nan bersahaja akan cerita
cerita itu, “setiap pemimpin itu terlahir, dan jiwa kepemimpinan seorang
pemimpin itu harus benar benar terpimpin dan ia sangat, harus takut akan Allah SWT. Ke mana
sahaja dan di manapun berada, hatinya akan selalu menangis oleh sabab apa yang
dipimpinnya itu belum merasakan dan belum merasa damai dengan kepemimpinannya.
Sehelai sapu tangan niscaya terbawa selalu di saku, kerana mereka tahu akan dirinya, di
setiap waktunya pasti akan mengeluarkan air mata, oleh sabab mereka adalah pemimpin
yang rendah hati,” begitulah akan kata kata itu kian berlalu dari mulut sang
ibu penyayang tersebut.
“Jangan sekali kali kamu wahai anakku
mengata ngatai, mencemoohi, dan berkata dengan kata kata seperti orang yang tak
berakhlak, tak pernah bersekolah, untuk pemimpin. Kerana hari ini mereka yang di sana, tiada
yang tahu untuk suatu sa’at nanti, kamu yang menjadi orang nomor satu itu.
Sungguh ini penyebab pilu dan orang lain akan menanti nanti walau hanya sebutir
debu akan khilafmu anakku,” ibu itu terus berkata kata.
Dan
sangat pasti, seorang pemimpin itu. Sudahnya memahami akan tangga tangga dasar
dalam kepemimpinan, mereka sangat sangat paham dan sudah menjadi bahagian dari
dirinya tentang bagaimana untuk menjadi pemimpin yang dicintai, pemimpin yang
dipercaya, seorang pembimbing, berkepribadian tinggi dan pemimpin abadi.
“Anakku, imam dalam shalat ialah contoh
pemimpin sejati, di mana dalam setiap gerakan shalat itu, makmumnya senantiasa
selalu mengikuti, teratur dalam aturan. Kerana memang sang imam, memimpin
perintah Rabbi, Allah SWT yang maha segala galanya, hanya Allah SWT yang ia turuti tidak dan
untuk yang lain,” ibunya Belukar pun terdiam seketika.
Ia pun tiada
sadar bahawa aneuk agam -anak lelaki- nya itu sudah tertidur pulas di pangkuan
berkasihnya. Dan teringat akan pekerjaannya, belum selesai ianya menggiling akan bumbu, Lalu menidurkan sang buah hati di atas tikar pandan, beralas ija sawak akan
kepala si Belukar yang baru berumur lima tahun setengah itu. Dan bergegas balik
ianya menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda.
Begitulah
pemimpin sejati, takut akan Allah SWT, dan selalu menangis, bukan kerana cengeng, namun rasa yang ada tidaklah mampu menahan gejolak di dalam
hati. Sehelai sapu tangannya pun kian menyimpan rahasia diri.
Ibu
Manawiah sudah menyiapkan segala sesuatu untuk dimakan di siang hari tersebut,
suaminya sudah berada di rumah. Belukar pun tengah bermain main dengan ayahnya,
ia terbangun dari tidur tak kala mendengar suara kereta ayahnya. Ia selalu akan
terbangun dari tidurnya apabila mendengar suara dari kereta ayahnya.
Hanya, jika sang ayah pulang ke rumah larut malam baru di ketika itulah ia tidak
terbangun dari tidurnya, kebiasaan akan kebiasaan menjadilah Belukar terbangun
dari tidur. Ia akan langsung berdiri di dahapan pintu rumah, sebongkah senyum
untuk menyapa sang ayah selalu dihadirkan dari mulut wajahnya.
Ia tak
mahu tahu, sang ayah tengah ada masalah atawapun tidak. Sudah seperti tugasnya
menanti lelaki pemimpin rumah tangga mereka di hadapan pintu tak kala mendengar
suara kereta yang sudah sangat dikenal olehnya mendekat ke arah halaman rumah
orangtuanya. Ia hanya tahu untuk merasa bahagia tak kala ayahnya sudah pulang.
Di atas
sebuah meja makan sederhana yang berada dekat dengan dapur dan dipisahkan oleh
tembok kamar mandi, sudah tersaji akan santapan untuk siang hari tersebut.
Keluarga petani garam itupun menyantap makan siang dengan lahap, begitu juga
dengan Belukar yang dipangku oleh ibunya.
0 Comments