Menjelang Hari H
Karya; Syukri Isa Bluka Teubai
Bendera bendera partai tertancap rapi
melilingi lapangan bola sepak tepi laut kampung Semak, adalah pada hari itu
waktunya bahagi salah seorang balon ketua lorong untuk berkampanye. Di kampung
yang rata rata pekerjaan warganya adalah sebagai nelayan.
Walau hanya untuk menjadi ketua lorong
sahaja harus mempunyai sebuah partai jikalau tak ada partai maka ia tiada
diakui. Dan ide itu sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat kampung
tersebut puluhan tahun silam akan ketentuan sudah ditetapkan.
Nakeuh, kerana apabila calon itu tak
punya partai, akan bagaimana jadinya nanti, mereka yang terpilih bisa berbuat
sesuka hati terhadap sekalian masyarakat. Nakeuh, kerana tiada yang akan boleh
menegurnya, mengata ngatainya, iaitu hanyalah ia sendiri yang punya kekuasaan
tunggal.
Maka dari semenjak puluhan tahun dahulu,
mereka sudah membuat kesepakatan seperti itu, iaitu siapa sahaja yang ingin
mencalonkan diri adakala sebagai, ketua umum lorong, ketua dusun, ketua pemuda,
pak geusyik dan lain sebagainya, adalah harus mencalonkan diri melalui partai.
Dengan adanya partai, tentulah ia sudah menjadi
orang partai. Akan jelas bahawa ia memiliki pendukung, setidaknya pendukung
dari kalangannya sendiri bahpun ia tidak merakyat, setidaknya orang orang di
dalam partainya sudah kenal pada sosok yang akan dimajukan itu.
Balon kepala lorong yang memiliki partai
ia sudah barang pasti, adalah ia disukai oleh masyarakat, setidaknya mereka meraka
yang mendukung partai tersebut. Kampung Semak terbagi ke dalam lima lorong,
beradalah di setiap lorong itu balon dari ketua yang mencalonkan diri untuk
menjadi ketua lorong umum di kampung tersebut.
Seperti hari ini, adalah giliran untuk Tuan
Itam berkampanye, iringan suara rapai begitu riuh, tak kala tuan Itam dan rombongannya
memasuki arena acara. Lambaian tangan sangat bersahaja ke para pendukungnya, mereka
langsung menuju ke atas panggung yang sudah disediakan oleh panitia.
“Hadirin sekalian, sebelum mempersilahkan
sang calon kepala lorong kita untuk berbicara di sini, alangkah baiknya terlebih
dahulu meminta kesedian Tuan Seman, kepada Tuan dipersilahkan!” Setelah pembawa
acara itu membuka acara sekaligus mempersilahkan tukang kampanye bahagi
pendukung partai tuan Itam, ia pun kembali duduk di tempatnya.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,” tukang kampanye tuan Itam memberi salam dan disambut riuh oleh
para tamu pendukung partai Sakap tersebut.
“Baiklah, saya berdiri di sini dan tiada
banyak berbicara mengenai diri saya. Yang namun yang perlu anda ketahui bahawa
pada hari ini, kita telah sama sama tahu, akan tuan Itam,” tuan Seman
melanjutkan orasinya.
“Nakeuh, beliau merupakan sosok yang
begitu peduli kepada masyarakat, santun perangainya dan sangat banyak lagi akan
kelebihan beliau ini. Maka dari itu ia sangat cocok untuk kita pilih sebagai
ketua lorong umum kita.”
Baca juga cerpen; Jika Aku Mati Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?
Baca juga cerpen; Jika Aku Mati Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?
Suara riuh senada beriringan dengan tepuk
tangan para tetamu membuat kampung Semak sangat bergairah pada hari libur
melaut tersebut. Beberapa menit tuan Seman berorasi singkat di atas panggung,
barulah ia mempersilahkan tuan Itam, sang calon yang nak berkampanye di hari
tersebut.
Kerana di hari hari biasanya, suasana
kampung tersebut sangat sepi, tak ada kedai kopi di persimpangan jalan, begitu
juga dengan kedai kedai lainnya. Balai balai pengajian pun tak ada, apalagi Musalla.
Masyarakat yang ada di kampung tersebut, semua pergi ke kampung sebelah untuk
minum kopi, berbelanja bahkan jikalau mahu shalat di musalla semua mereka harus
pergi ke kampung sebelah.
Di kampung tersebut hanya ada lapangan
bola sepak, sekaligus dua lapangan. Lapangan bola voli, basket, tenis, tenis
meja, takraw dan di ujung kampung ada lapangan golf di hadapannya terdapat
sebuah anak sungai yang airnya mengalir dari gunung menuju laut lepas.
Masyarakat di kampung tersebut lebih suka pada olahraga, siang malam mereka
berolah raga.
“Maknu, adakah kamu mendengar tadi, apa
yang dibilang oleh tukang kampanye tentang balon kepala lorong itu,” tanya
Raman.
“Ia, ada. Memangnya kenapa?” Jawab Maknu.
“Katanya tuan Itam itu sangat bersahabat,
santun perangainya. Padahal, aku yakin semua orang tahu!” Raman bertanya lagi.
“Ia, semua orang tahu! Tapi itulah
bodohnya tukang kampanye, si tukang itupun sendiri sebenarnya sangat sangat tahu
bahawa orang yang dikampayenya itu tidak demikian, tidak seperti apa yang ia
katakan kepada masyarakat. Tapi memang sudah menjadi tugasnya,” Maknu menjawab
lagi.
“Ia Nu, tapi aku kasihan kepada si tukang
kampanye itu. Orang yang paling bodoh di dunia ini berarti adalah ia, Nu, si
tukang kampanye itu. Kerana, yang pertama ia sudah menbodohi dirinya sendiri
dengan mengatakan sesuatu yang justru ia tahu itu tiada seperti apa yang ia
katakan.
Yang kedua, dengan amat sangat sengaja ia
membuat kita untuk berkata kata untuknya. Orang orang seperti itu, sungguh
sangat patut untuk dikasihani, Nu!” Raman terdiam.
Acara pada hari tersebut, terus berlanjut
dan tiadanya gangguan dari pihak manapun. Akanpada kekompakan, menjaga lawan
partai adalah prinsip kuat yang dimiliki oleh sekalian partai begitu juga
masyarakat yang ada di kampung Semak itu. Walau mereka berbeda beda pilihan dan
partai.
Tapi tiada sedikitpun didapati perselisihan,
saling menjelek jelekkan satu sama lain, cek-cok diantara sesamanya, walaupun di
kampung itu tiada pernah punya balai Pengajian dan Musalla. Akan tetapi sifat
toleran untuk berpartai sangat dijunjung tinggi oleh mereka mereka yang berpenghasilan
dari tangkapan ikan di laut lepas.
Syukri Isa Bluka Teubai, penyuka sastra.
0 Comments