Ilustrasi, Panggung Gembira, angkatan 2016 Misbahul Ulum, Paloh.
Foto@Ruslanfacebook.
Misbahul Ulum Warnai Dunia
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai
“Berani sekali anta mengatakan demikian, coba
ulangi sekali lagi kata-kata tadi!” suara Mudabbir ganteng itu membentak.
Adalah hari Jum’at waktu itu, seluruh
santri baik perempuan dan laki-laki membersihkan dayah modern Misbahul Ulum di
wilayah masing-masing, kerana Ar- rijal (cowok) wa Al- banat (cewek) terpisah.
“Tandhiful’am-pembersihan umum nama kegiatan itu.”
“Anta tadi bilang apa?” Mudabbir itu bertanya
lagi akan si anggotanya.
Anggota dalam artian anggota kamar
masing-masingnya, bukan anggota polisi, tentara atau apalah itu namanya. Adapun
mudabbir adalah abang kelas yang ditunjukkan untuk menjaga mereka-anggota di
dalam setiap kamar. Satu kamar berjumlah dua puluh atau tiga puluh orang tergantung
luas kamar tersebut. Dan perkamar di jaga oleh satu dan dua orang mudabbir. Tugas
mudabbir ini membangunkan mereka, memberi mufradat-kosa kata, baik Arab maupun
Inggris, tergantung pada waktunya. Setiap seminggu sekali berganti jadwal adakala
minggu pertama bahasa arab, berarati minggu kedua bahasa inggris, begitu
seterusnya.
Menjaga, mengayomi, berdiskusi, adalah
banyak akan tugas mudabbir-mudabbir ini. Laksana seorang abang kandung bagi
mereka. Pengontrol akan mudabbir itu sendiri adalah Wali Asrama-Pamong. Wali
asrama ini adalah Ustat atau Ustazah yang mengajar di Ma’had-Dayah tersebut. Laksana
seorang ayah bagi mereka termasuk bagi si mudabbir dan seterusnya ada
pengontrol masing-masing.
“Ana cuma bilang kirdon Akhi,” Afrizal namanya.
Afrizal MA nama panjang si anggota tadi. Ia yang mengakatan kata-kata kirdon.
“Kenapa anta bilang kirdon untuk si Bukhari,”
mudabbir itu terus berkata-kata.
“Ia duluan yang bilang untuk ana akhi, ia
bilang untuk ana qitton. Jadi ana balas bilang untuk ia kirdon, hehe,” Dengan
polosnya Afrizal menjelaskan sabab akan kejadian sehingga sampai ia mengejek
kawannya tadi.
Adapun sang mudabbir itu bernama Taufik,
Taufik Dheng lakapnya. Kerana berbadan gemuk, tinggi, putih dan jangan lupa, ia
itu ganteng.
Setiap anak Ma’had terserah Ma’had apa
sahaja, tetap ada lakap di balik namanya. Tidak bisa dipungkiri dan itu sangat
terngiang dan selalu terkenang akan lakap nama itu. Macam-macam sahaja polanya.
“Jadi sekarang kalian berdua bersihkan semua
sampah-sampah di lapangan itu,” Akhi Taufik menyuruh mereka untuk membersihkan
sampah-sampah yang ada di lapangan bola kaki Sahara tersebut.
“Ini sebagai hukumannya. Jangan ulangi lagi
yang beginian, sungguh ini tidak bagus,” mudabbir itu terus berkata-kata lagi.
“Kita santri, santri itu sopan-sopan, lemah-lembut
dalam bertutur, beretika, berwibawa, cerdas, suka membantu, setia kawan, tidak
pelit,” dan lagi ia terus berkata-kata akan nasehat kepada bukan hanya Bukhari
dan Afrizal, tetapi di sana juga ada Israf, M. Saddam Husen, Muammar Rusli, Azizul
Hakim, Aulia Rahmat, Rahmat Rizana, Amrullah (Alm), Yaki Yamani, Umar Stani
(Alm), Saddam Irwan Stani, Azmul Fauzi, Yusnaidi, M. Nazar (Ramboe), M. Syukri,
Mulyadi, Faisal M. Isa, Feri Rusda, Muzakkir K, Ihsan, Ikhwan (Alm), Zulfan,
Zulfadhli, Khairul Amri, Nurhasballah, M. Zainuddin dan kawan-kawan lainnya.
“Kita sama di sini tidak ada perbedaan antara
satu dengan yang lain, walau berasal dari berbagai tempat/daerah,” Adalah akhi
Taufik ini sangat suka menasehati, siapa sahaja dinasehati ia juga penyayang,
baik hati, tidak pilih kasih, semua sama di matanya jikalau melakukan akan
kesalahan. Begitu juga dengan akhi-akhi yang lainnya, jikalau ustad dan ustazah
memang sudah kewajibannya seperti demikian. Di setiap tempat Pendidikan juga
akan sama polanya seperti itu di manapun.
“Ingat, kita sama, kita ini satu, tidak ada bedanya
dengan mereka kawan-kawan kita dulu yang hanya satu malam sahaja betah di sini,
bahkan mereka yang sedetik saja pernah berada di sini. Semua sama, di jidadnya
sudah tertulis PMMU,” Mudabbir itu mengakhiri kata-katanya dan kembali
mengontrol akan segenap anggotanya di kelompok lain. Ia bertugas mengontrol
tiga kelompok pada pagi hari Jum’at itu.
Semua santri-santri itu membersihkan
ma’had dengan penuh rasa ikhlas, di hati mereka tertanam akan kepedulian yang
sangat kepada tempat itu. Tidak akan membiarkan siapapun untuk mencela, menfitnah,
apalagi berdusta tentang Misbahul Ulumnya itu.
Mereka terus berdikari di bawah sinaran
cahaya penerang kelam kegelapan, pemberi warna pada dunia, yang akan mengikuti
jejak-jejak abang-abang leting terdahulu yang telah malanglang buana hampir ke seluruh
penjuru alam ini. Adakala Timur Tengah, Eropa, Asia dan lainnya. Dan juga
abang-abang leting mereka yang tersebar di Indonesia, baik itu di Banda Aceh,
Lhokseumawe, dan daerah sekitar di dalam provinsi Aceh.
“Tiada kata menyerah, walau sudah pasrah. Tiada
kata tidak, walau sudah di tembak. Tetap ada kata lagak, walau sudah ditolak,”
“Hhhhhoooiiii, siapa yang berbicara lughah -bahasa-
aceh tadi, suka-suka antum -kalian- aja bicara lughah aceh kalau tidak
dikontrol,” Abu Nizan Sahara dan Edi Saputra-Dh’ok (Dh’ok, lakapnya kerena ia
kurang jelas dalam bertutur) terkejut mendengar suara lantang di belakang
mereka itu, rupanya akhi Taufik sedari tadi memperhatikan keduanya yang sedang
asyik berbalas-balas pantun, adakalanya membaca puisi dan macam-macam sahaja
gurauan mereka itu.
Nizal Rahmatullah, Mulyadi Paloh Punti, Muhari
Akbar, Faizul Azmi, Hendri Zulfahmi, Zulhelmi, Zulbahraini, M. Fauzan,
Jufriadi, Nasrijal, Riski Masykur (Alm), Zulfahmi, Edi Saputra Palda, Taufik
Syah Hendri, Ramzanur, Nazliansyah, Julian Feri, M. Faisal dan M. Fadil mereka
langsung mengerumuni Abu Nizan S dan Edi Dh’ok.
“Kenapa antum berbicara lughah aceh tadi?” Akhi
Taufik bertanya lagi.
“Afwan ya akhi, kami kan cuma berpantun dan
membaca puisi tadi,” Abu Nizan S menjawab akan sual mudabbir itu.
“Nahnu –kita- di sini diajarkan lughah ‘arabiah
wa injiliziah, Nahnu paham akan itu. Tetapi anehnya kenapa antum belum juga
sadar-sadar, masih juga berbicara selain lughah arab wa inglish. Limaza -Kenapa?”
Dan lagi akhi itu terus berucap.
“Akhi rasa tidak ada puisi yang kata-katanya ‘tetap
ada kata lagak walau sudah ditolak’,” mudabbir itu memperjelas akan sekalian
mereka.
“Hahahahahahahh.”
“Hahahahahahahah,” sekalian anggota tadi
menghamburkan akan tawa mereka.
“La tadzhak Ana faqad la adzhak, (Jangan tertawa
saya saja tidak tertawa),” kembali sang mudabbir itu mempertegas lagi akan
suaranya.
Bersambung.................(bagian K2)
1 Comments