Simalakama



Simalakama
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai

Seorang pemuda berbadan tegap, tinggi, berambut panjang sebahu itu, mondar-mandir di hadapan rumah orang tuanya. Muddin, dengan nama itu ia sering dipanggil oleh kawan-kawan mahupun seluruh warga kampungnya. Pria lulusan cumlaude dari suatu perguruan tinggi di luar negeri tersebut sekarang menjadi bahan tertawaan akan seluruh penghuni kampung Qaryah tersebut.
Beberapa tahun silam, adalah suatu hal kejadian yang menimpanya, sehingga bersabab pada sakitnya itu, jikalau hanya sekilas diperhatikan ia seperti pemuda biasa lainnya. Berbicara sendiri, kadang tertawa terbahak-bahak, bernyanyi dan sebagainya. Ialah bukan suatu keanehan lagi pada diri pemuda berwajah Eropa tersebut bagi warga kampung Qaryah itu.
Namun ia seorang yang cerdas, dulu. Sebelum gelombang kehidupan bersimalakama itu menimpa dan membawanya kepada kesakitan jiwa. Orang tua Muddin (Din) bukan tiada pernah mengobatinya, namun ke mana-mana (tempat berobat) ia sudah dibawa. Akan tetapi belum juga berbuah akan kesembuhan pada sesosok penyuka sastra tersebut.
“Seandainya wanita tiada pernah dicipta, aku tahu dunia pasti hampa. Dan oleh sababnya yang dipenuhi kelembutan jua, kini aku menelan nestapa,” Din berguman sendiri. Ia sering berpuisi di tengah malam yang sunyi, siapa sahaja yang melewati jalan di hadapan rumahnya itu pasti akan mendapati Din, baik ia sedang menikmati rokok atawa membakar kayu-kayu yang dibuatnya seperti api unggun, setiap malam pasti akan mendapatinya begitu.
Kursi busa, satu buah meja persegi empat terletak di bawah tempat berteduh berdaun rumbia tersebut. Tempat itu ialah ia sendiri yang membuatnya, tiada suka mengganggu siapa pun. Dan ia sangat sering melewati hari-hari yang dipenuhi sepi baginya itu, hanya seorang diri sahaja, sesekali waktu ia nya ditemani Saiful.
“Muddin, negeri mana sahaja yang sudah pernah engkau kunjungi?” Itulah satu pertanyaan yang diajukan Saiful atau siapa sahaja yang bertanya kepada Muddin. Dengan demikian ia akan manjawab dan berbicara panjang lebar, sampai berjam-jam masa akan sanggup dan ada sahaja bahan bicaraannya itu. Adalah orang pandai, cerdas berwawasan luas.
“Jikalau di benua Asia, ke Jepang, dan Jepang disebut juga dengan negara matahari dan negara bunga sakura, beraneka ragam budaya ada di sana walaupun teknologi perdetik berkembang, namun adat dan budaya tetap sampai sekarang masih dipertahankan mereka,” Din menyambung lagi jawabannya.
“Korea, mereka sangat benci pada perempuan yang mengaborsi kandungannya dan apabila ketahuan akan dihukum dengan hukuman mati si pelaku aborsi tersebut,” Din terus berkata-kata.    
“Di benua Afrika, ke Afrika Selatan. Dan merupakan benua tertua di Afrika. Benua Eropa dan lain sebaginya pernah juga aku kunjungi,” terus ianya berkata-kata.
“Dan kenapa di negeriku ini tiada menganut budaya dari salah satu suku di Afrika. Yaitu Suku Sharo, aku lebih rela dipukul dulu sebelum mendapatkan kekasih yang dicintai bahkan sampai matipun tidak mengapa, demi seorang yang kucinta,” ia mulai menceritakan kepiluannya.
Ialah kerana cinta, iya cinta. Yang membuat Muddin begini ada dan jadinya sekarang, ia pun begitu terpukul, bersebab perempuan yang ia cintai itu dinikahkan dengan lelaki lain oleh orang tua si perempuan bernama Livia tersebut. Padahal mereka sudah berjanji untuk menikah ketika masa-masa di sekolah menengah ke atas (SMA) dahulu.
Misteri, tepatlah bagi jawaban sabab dari orang tua Livia rela menikahkannya dengan lelaki lain, dan heran juga kenapa ia mahu dinikahkan dengan lelaki yang baru seminggu dikenalnya tersebut. Dan pria itu berasal dari kota.
Ataukah Livia tiada pernah memberi tahu akan orang tuanya bahawa ia mahu dilamar oleh Muddin yang baru seminggu sampai di kampung halaman itu, dan berencana minggu di hadapan ia akan melamanya.
“Aku lebih memilih mati dipukul oleh orang-orang yang mahu menguji kelayakan seorang lelaki sebelum ia menikahi perempuan dambaan hatinya, kukira masuk akal juga budaya dari suku Sharo di Afrika tersebut.” Suku Sharo menganut budaya harus rela dipukul demi seorang gadis.
“Aku sangat sengsara begini, ia (Livia mantan hayalan Din) tega dan bermain-main di ulu hati ini. Pantaskah Aku mati sahaja, kerana agama dan faham betul akan agama, coba pabila aku bukan orang yang tahu agama sudah dari, sudah da......,” air-air di mata sipit itu terus bercucuran.
Muddin geram dan langsung ianya dipeluk oleh sahabat senggang itu. Ditenangkan ianya dengan candaan-candaan sebisa Saiful lakukan. Dan jam mengarah pada angka dua di malam Minggu itu, setelah Saiful melirik jam yang ada di tangan kirinya itu.
Tiada kepastian, dan sudah setahun Din sakit di jiwanya. Dulu ia pemuda yang riang, tetapi sekarang Din hanyalah seorang yang sakit jiwa. Saiful seringkali mengingatkannya untuk pergi lagi ke tempat ia merantau sekaligus menuntut ilmu dulu, supaya pemuda tampan berwajah Eropa sahabatnya itu bisa melupakan kekecewaannya.
Dan untuk memulai hidup baru dengan jodoh yang akan diberikan Tuhan untuknya.
“Perempuan itu menikah dengan orang lain, berati ia bukan jodoh kita, walau dibuat kecewa kerana kita tiada pernah diberitahu akan ia menikah dengan lelaki lain, kalau itu terjadi pada diriku, bagaimanakah diri ini. Tuhan jangan, aku tiada berkeinginan seperti Din,” Saiful membatin sendiri.
Din masih terduduk di kursi busa yang menjadi teman sepinya itu, sudah satu tahun kursi dan meja persegi di bawah tempat berbubung daun rumbia tersebut menjadi saksi bisu akan kekecewaannya.
“Aku bukanlah orang gila, namun besarnya simalakama yang membuat diri ini begini jadinya. Tuhan, ampunilah hamba atas segala dosa, terutama telah memberi peluang kepada iblis untuk mempermainkan jasad ini.” Din mengarahkan pandangannya ke langit yang diterangi bulan-bintang pada malam itu.

Cerpen ini sudah pernah disiarkan Portalsatu.com (portalsatu.com © 2015 - 2017 All Rights Reserved.) 11 februari 2016.

Post a Comment

0 Comments