Foto@Istimewa; di atas Bot penyeberangan Pulo Aceh-Banda Aceh
Pemerataan
dan Keseimbangan Pembangunan di Kawasan Pedalaman
Oleh; Syukri Isa Bluka Teubai
Pulo Aceh; adalah nama tempat dan kalimat
pertama untuk mengawali tulisan ini, di mana semua masyarakat kota yang ada di
Banda Aceh, Aceh Besar, pasti mengetahuinya. Walaupun masih sangat-sangat
banyak dari mereka yang belum sekalipun pernah ke sana, mungkin. Dibandingkan
ke Sabang, Pulo Weh.
Pulau yang termasuk ke dalam kabupaten
Aceh Besar ini, berada di tempat paling ujung dari pulau Sumatera, berdekatan
dengan ibukota provinsi Aceh. Jika mahu mengunjungi, berwisata ke pulo tersebut
harus menggunakan kapal, akan tetapi kapal yang melayani rute ini (Banda
Aceh-Pulo Aceh) ialah Boat Ikan. Tidak seperti pergi ke Sabang, yang
menggunakan kapal.
Di Pulo Aceh terdapat dua pulau lagi,
yaitu Pulo Nasi dan Pulo Breh. Pulo Nasi adalah pulo pertama yang duluan akan
kita jumpai di dalam perjalanan dan setelahnya barulah kita akan mendapati Pulo
Breh, pulo yang memiliki Menara Suar William Toren’s (Mercusuar).
Biasanya Mercusuar (lampu Pulau) akan
didapati di setiap pulau-pulau yang dijumpai, setelah laut lepas. Adalah
sebagai penanda bagi kapal-kapal yang berlayar di laut yang sangat luas
tersebut di malam hari. Agar kapal-kapal yang berlayar itu tidak mengalami
kecelakaan oleh sabab menabrak pulau.
Apabila kita membandingkan antara Sabang
dengan Pulo Aceh, adalah Pulo Aceh yang duluan dijumpai dari jalur Selat
Malaka. Kerena Pulo Aceh yang berada di paling ujung pulau Sumatera (Pulau
Terluar). Dan sebenarnya titik Nol Kilometer
itu tepatnya, harus berada di mana! Di Sabangkah atau di Pulo Acehkah (Pulo Breh)?
Dan jika membahas tentang infrastruktur
yang ada di Pulo Aceh (Pulo Breh dan Pulo Nasi) itu, sungguh sangat-sangat
belum memadai, baik dari segi pembangunan jalan, bangunan-bangunan sekolah.
Apalagi untuk gedung-gedung serbaguna. Di sana, semua itu sungguh tidak akan
pernah didapati, dibandingkan dengan apa yang sudah dimiliki oleh Sabang yang
tidak jauh berada di sampingnya itu.
Jikalau mahu membahas tentang pemerataan,
di sini saya ingin bertanya kepada penjabat di pemerintahan Aceh, sebenarnya
apa itu arti dari pemerataan secara umum! Dan juga, apa yang dimaksud dengan
keseimbangan secara mendasar! Sudahkan pribadi dari diri masing-masing anda,
wahai para penjabat di pemerintahan. Siapapun anda. Sudahkah anda-anda memahami
(menerapkan) ini?
Apabila semua anda sudah memahami itu.
Jadi, kenapa juga sampai sekarang, di pulo paling ujung tersebut belum ada
apa-apa? Tidak ada satupun kantor-kantor yang akan didapati di sana, sekalipun
itu kantor kepala desa (yang memadai). Sekarang ini sudah tahun 2017 dan tidak
lama lagi akan memasuki tahun 2018.
Sampai kapan mereka yang ada di Pulo
terluar itu akan hidup dalam keterbatasan-keterbatasan, yang penentunya adalah ada
di tangan anda-anda yang bertanggung jawab sebagai penjabat di pemerintahan.
Mereka punya anak, anak-anak itu membutuhkan pendidikan, untuk melaksanakan
pendidikan itu membutuhkan tempat yang layak, sarana dan prasarana yang munpuni.
Pengajar-pengajar yang profesional dan harus cukup jumlahnya.
Hari ini semua kita bertanya-tanya,
kenapa dengan Pulo Aceh. Atau ada apakah di Pulau yang memiliki panorama alam yang
masih sangat alami tersebut! Sehingga sampai pada hari ini, bahkan detik ini.
Masyarakatnya masih hidup dalam keterbatasan baik dari segi pembangunan,
transportasi, ekonomi, dan dari semua segi.
Apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah
Aceh hari ini, secara umum saja. Terhadap mereka-mereka yang ada di pulau yang
memiliki ribuan Terumbu Karang, Gurita, Lobster, Tripang dan sejumlah biota
laut lainnya seperti Cumelan, Geutala, Mata Leumo, dan Subang Gadeng. Yang
mungkin beberapa dari biota laut tersebut tidak ada dan tidak akan didapati di
pulau lainnya yang ada di Aceh ini, begitu juga sebaliknya.
Bagaimana untuk menyerukan, menginginkan
sebuah perubahan di negeri ini. Jika masyarakatnya masih morat-marit dalam hal
menghidupi akan haq kehidupannya sendiri, apalagi mereka, para
generasi-generasi muda yang ada di Pulo itu. Belumpun merasai akan pendidikan
yang layak bagi usia dan dirinya. Siapa yang akan bertanggung jawab untuk masa
depan mereka kelak?
Jangan di ketika suatu kejadian yang
sangat memalukan telah terjadi dan itu dilakukan oleh generasi muda yang ada di
situ (khususnya Aceh) sekarang ini, ramai-ramai kita berpendapat,
mengata-ngatai mereka dengan sejuta cela. Nakueh, sebelum kejadian itu
terjadi, dari sekaranglah mari membimbing mereka, didik dengan pendidikan yang baik.
Hari ini, kita semua telah lupa. Bahwa setiap
kesalahan yang dilakukan oleh generasi-generasi muda sekarang. Adalah, tok
imbas dari kesalahan kita yang dulu. Karena tidak pernah mendidik mereka dengan
baik, di masa-masa mereka yang telah berlalu itu.
Dengan situasi yang sampai sekarang ini
masih juga kita rasakan seperti kemarin-kemarin, sangat-sangat kurangnya
perhatian pemerintah, tidak ada yang peduli terhadap perkembangan, kemajuan pada
semua mereka yang ada di Pulo Aceh. Terutama bagi para generasi muda itu, yang
belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai di bidang pendidikan, belajar
mereka.
Coba saja kalau generasi muda Pulo itu nanti,
akan menjadi bajak laut di Selat Malaka! Dan bukan tidak mungkin kejadian ini
akan terjadi, bahkan untuk kejadian yang lebih dahsyat lagi akan bisa sahaja terjadi
ke depannya. Apabila memang terhadap keseimbangan itu tidak ada yang peduli.
Dan jangan pernah salahi mereka nantinya.
Saya juga ingin bertanya, siapakah dari
anda dan berapa kalikah; wahai para penjabat sudah mengunjungi mereka yang ada
di sana, siapa, berapa kali? Sungguh anda dari golongan orang-orang yang tidak
memiliki hati, malulah pada diri sendiri. Jangan hanya sebelum menjadi sesiapa,
sibuk berkampanye menjanjikan ini dan itu.
Baik itu Gubernur, wakil Gubernur, bupati
Aceh Besar, walikota Banda Aceh, DPRK Kota Banda Aceh, DPRA Aceh, Dinas-Dinas
terkait dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pemerintahan di Aceh
Besar, kota Banda Aceh, khususnya dalam pemerintahan Aceh. Sudah berapa kalikah
anda-anda itu, pernah berkunjung untuk bersilaturrahmi dengan saudara kita yang
ada di Pulo Aceh tersebut!
Jika berbicara pulo Weh, Sabang, sehingga
sampai dengan kemegahannya hari ini. Yang sudah memiliki kantor-kantor tertentu,
jalan-jalan beraspal dan mudah untuk dilalui. Yang juga terletak di seberang laut
kota Banda Aceh, Aceh Besar. Kenapa pembangunannya bisa merata sedemikian rupa.
Sedangkan di Pulo Aceh belumpun ada apa-apa (seberapa)!
Berarti, bahwa Pulo Aceh itu bisa juga
seperti Pulo Weh! Sekarang ini hanya satu sahaja yang kita perlukan, iaitu rasa
kepedulian yang sebenarnya dari pemerintah. Bukanlah sebuah alasan, bahwa pulo
itu berada di seberang laut dan perjalanan ke sana masih harus menggunakan Boat
Ikan.
Nakeuh, di sana (Pulo Aceh) juga ada pelabuhan. Hanya tinggal mengganti saja
alat transportasi (Bot Ikan) mereka itu, yangmana dari dulu sampai sekarang. Sudah
sampai pada tahun 2017 ini, mereka masih menggunakannya. Ganti itu dengan kapal yang layak, seperti kapal-kapal
yang melayani rute Sabang, Pulo Weh itu.
Sangatlah mungkin dan pasti, setelah
adanya kapal yang telah begitu lama dinanti-natikan oleh semua mereka itu
(masyarakat pulo Aceh). Pembangunan, Pemerataan dan Keseimbangan di pulau
tersebut (umumnya negeri Aceh) akan cepat bisa terbenahi. Semoga!
Syukri Isa Bluka Teubai; penyuka sastra.
0 Comments