Cerpen; Hari Esok


Foto@Syukriisablukateubai

Hari Esok
Oleh; Syukri Isa Bluka Teubai

Dentuman menggelegar suara halilintar bersahut-sahutan menyambar bumi, percikan kilatan cahaya menerangai malam Jum’at Kliwoen itu. Pukul satu malam, Kelana pulang melewati jalan setapak kampung yang sudah puluhan tahun ia tinggalkan. Merantau adalah pilihan yang sangat tepat bagi seluruh pemuda kampung Damai itu, kerana perang tengah melandanya.
Dibalut jaket tebal panjang selutut berwarna coklat usang, bertopi ala koboi, ia terus menderapkan telapak kaki itu di atas tanah tumpah darah ibunya. Tiada sesiapa yang ia jumpai baik di Pos Jaga dekat tanah perkuburan kampung ataupun di kedai Tuan Mat Amin yang tiada jauh dari tempat pertama ia melihat dunia.
“Assalamu’alaikum.”
“Assalamu’alaikum,” Ia memberi salam kepada tuan rumah sambil menggedor-gedor pelan pintu kayu jati berukiran khas tersebut. Dan setelah beberapa menit menunggu.
“Wa’alaikum salam.” Suara serak terdengar dari dalam.
“Masya Allah, panglima Ayah rupanya,” suara Tengku Dadeh menyapa tamu yang datang di tengah malam itu.
Setelah disalami tangan dan mencium lutut ayahnya itu, mereka masuk ke dalam rumah dan Tgk Dadeh membangunkan istri tercintanya sembari memberi tahu bahawa anak lelaki pertama mereka sudah berada di rumah.
Dengan sedikit terhayun ibu itu berlari kecil ke arah lekaki yang sedang duduk di ruang tamu, berhamburan tangis dan air-air itu terus bercucuran dari mata renta di wajah kusut penyayang itu. Kala ia memeluk putra tercintanya. Bersabab oleh keriuhan di dalam persinggahan itu, semua penghuni pun terbangun.
Pukul setengah dua di malam Jum’at itu, dari rumah Tgk Dadeh terdengar suara-suara bahagia. Petir pun kian mereda, kilatan cahaya mulai sirna ke dalam pekatnya malam.
Kelana adalah anak laki-laki pertama Tgk Dadeh, setamat dari Sekolah Menengah ke Atas (SMA) dulu, dia langsung merantau. Empat puluh tujuh tahun di dalam perantauan serasa baru tujuh bulan, oleh sabab kampung yang ditinggali selama itu masih juga seperti dulu.
Jalan-jalan masih bertanah merah, meunasah -mushalla-, masjid, rumah-rumah sekolah masih model lama tiada sedikitpun perubahan yang ada di sana. Maka dari itu ia merasa bahawa merantaunya baru sahaja seperti tujuh bulan lamanya.
Di rantau orang sembari menafkahi hidup ia sempat menempuh pendidikan walau tiada pengakuan di negerinya sendiri. Namun bukan itu di dalam perkiraan akan tetapi apa yang bisa dilakukan, hanya itu sahaja.
Sepekan masa sudah terlewatkan di kampung halaman, adapun kegiatan Kelana seperti biasa di pagi harinya. Setelah pulang dari kebun orang tuanya, ia memanjakan rasa sosial itu di kedai kopi Tuan Mat Amin. Di sana ia bercengkrama sekaligus bertukar pikiran dan berbagi pengalaman kepada siapa sahaja yang menanyainya, dan tentang apa sahaja.
“Tgk Abu, pemuda-pemudi sekarang terlihat banyak yang sudah bersekolah, kuliah, ada juga pergi meudagang (maksud dari pergi berdagang ialah Jak Beuet -Pergi Mengaji- menetap di Dayah). Dan saya sangat bangga akan perubahan ini di kampung kita daripada dulu.”
“Iya, memang dari mereka sudah sangat banyak yang pergi menuntut ilmu. Apalagi sekarang kan daerah kita sudah aman,” Tgk Abu mengiyakan Kelana.
Tiba-tiba datang Kasim sambil mulutnya komat-kamit, beribu kata-kata sumpah-serapah keluar dari mulutnya dan melemparkan benda (seberkas surat lamaran kerja) yang ada di tangan kirinya itu ke atas meja kedai kopi Tuan Mat Amin.   
“Kenapa kamu Kasim? Duduk dulu. Baru datang sudah ribut-ribut,” Tgk Abu menyapa.
“Ini Tgk, saya baru pulang dari mencari kerja. Tapi di sana (di tempat kerja) diminta ini, itu, macam-macam sahaja permintaan mereka. Harus ada ijazah Strata Satu (S1) lah, banyak sekali persyaratannya. Tiada pernah kita mendengar akan pertanyaan, anda bisa apa?” Kasim geram.
“Jadi bagaimana?”
“Apanya yang bagaimana, Tgk! Kan spontan saya jawab,” Kasim sangat bersemangat dan terus menyambung kata-katanya.
“Bagaimana ada ijazah, dulu, untuk pergi ke sekolah sahaja harus bertaruh nyawa. Sekarang kautanyakan Aku punya ijazah?” Semua pengunjung kedai di pagi itu terdiam seketika.
Suasana sengap, angin berhembusan pelan ke utara. Matahari mulai menaiki angkasa, suasana di kedai itupun masih sengap.
“Tuan Mat Amin, hidangkan segelas kopi untuk Kasim,” suara lantang Kelana memecah keheningan.
Samar-samar mulai terdengar pembicaraan tetamu yang ada di kedai itu, bahawa mereka mengiyakan apa yang dikatakan Kasim tersebut. Dan di pagi hari Senin itupun Kelana berencana menjemput istri beserta anak-anaknya, yang akan tiba di kampung halaman setelah sepekan ianya sampai di kampung Damai tersebut.
“Merantau lama, menumpuk harta, tiada juga berguna. Jikalau untuk negeri sendiri tiada pernah mengabdi, hari ini Aku berjanji, akan melakukan segala sesuatunya yang bermanfa’at untuk kemajuan negeriku tercinta,” Kelana berikrar pada dirinya sendiri.
“Bagaimanakah negeri ini di hari esok, jika sekarang sahaja (sudah damai, tiada perang lagi) masih juga banyak dari masyarakat yang belum hidup makmur,” Kelana membatin sambil terus memacu motornya di jalan yang belum beraspal tersebut. Ia pergi untuk menjemput wanita asal Swedia, tiada lain ialah istri tercintanya.

cerpen ini sudah dimuat di Portalsatu.com

Post a Comment

0 Comments