Angin Manja dari Pulo Aceh


Foto@Lodin LA

Angin Manja dari Pulo Aceh
Oleh; Syukri Isa Bluka Teubai

“Apa yang aku rasa, jelas sangat berbeda dari apa yang kalian rasakan, bukan Mungkin,” Eka berguman sendiri dan sebuah keindahan terlukis dari mulut di wajah ayu itu.
Laut adalah tempat bagi sebahagian manusia mencari kebahagian untuk menghidupi sebuah kehidupan, terbentang bak tikar. Kadang tergulung oleh tiupan angin yang menghadirkan cinta, berwarna jingga seperti matahari yang mahu tenggelam di kala senja. Dan terlupakan oleh waktu begitu sahaja seperti tiada.
Tersiar kabar, bahawa Bit Cut telah hanyut dibawa ombak bersama seorang kawannya yang sering dipanggil dengan nama Apachek. Adalah mereka berdua penduduk asli Pulau Aceh. Sebuah pulau yang tiada berjauhan dengan Sabang, tepatnya di ujung Sumatra berdekatan dengan samudra hindia yang berselat malaka itu.
“Mak, abang Azhari telah hanyut,” Eka memberitahukan ibunya. Azhari adalah nama sebenarnya dari Bit Cut. Namun ia sering dan sudah sangat terkenal dengan sebutan Bit Cut, ke mana sahaja pergi orang-orang akan memanggilnya dengan nama yang bukan asli dari namanya itu.
Perempuan paruh baya itupun tiada bisa berkata-kata setelah mendengar berita duka dari calon istri lelaki yang telah hanyut dan entah di mana sekarang akan rimbanya berada. Perempuan berkulit kuning langsat tersebut adalah anak perempuannya. Dan bulan depan Eka dan Bit Cut akan menikah.
Akan kejadian tersebut sudah berlaku selama tiga hari, “Eka, makan dulu, tidak bagus begitu! Abangmu kan sudah pergi ke Pulo Aceh, dan semua warga baik orang kampung kita sendiri pun turut mencari Bit Cut dan Apachek,” perempuan yang selalu menyayangi akan anak-anaknya tersebut membujuk calon mempelai wanita itu agar ia nya mahu makan.
"Ddddddddrrrrriiiing, ddddddriiiiinnnnggggg,” Tiga kali suara handphone (HP) di tangan Eka berbunyi. Seperti orang kerasukan sahaja ianya, dengan seketika panggilan handphone itu dijawab olehnya. “Assalamu’alaikum, ini abang Zakir Eka! Tolong beritahu ibu bahawa sekarang abang sudah sampai di Pulo Aceh. Dan kamu juga makan jangan lupa, jaga kesehatan badanmu itu. Allah bersama kita.”
Setelah Eka tahu bang Muzakir, abang kandungnya yang menelpon itu dan bukan lelaki pujaan hati di mana bulan depan akan menjadi pendamping hidup tersebut. Sungguh ianya tiada peduli dan air-air terus mengaliri pipi pucat tersebut, sedangkan abang Zakir dari tadi masih berbicara dengannya lewat handphone itu.
Seluruh masyarakat Pulo Aceh baik Pulau Breuh, Pulau Nasi dan khususnya masyarakat Kampung Seurapong yang bertetangga dengan Kampung Teunoem, Kampung Gugop, Lampuyang dan beberapa kampung sekitarnya, mereka sangat berduka atas kejadian yang menimpa dua dari warga mereka tersebut.
“Hidup, mencari rezeki, adalah risiko-risiko tersendiri dalam melakukannya,” adalah Nek Min yang berkata demikian, ia bercakap-cakap dengan Geuchik Seurapong tersebut, yang mana kampung itu adalah kampungnya juga.
Melaut (memancing ikan) sudahlah itu suatu pekerjaan yang harus dilakoni oleh sebagian besar masyarakat Pulo Aceh, kerana laut adalah potensi dasar dan sangat menjanjikan bagi mereka. Bersabablah pada yang itu. Dan di pulau tersebut juga ada sawah, kebun namun tiada menjanjikan.
Pulo Aceh, mempunyai keindahan alam yang masih sangat-sangat alami, pepohonan tumbuh hijau melingkari bukit-bukit kecil senantiasa dikelilingi oleh laut yang terbentang luas, ada tempat-tempat khusus untuk menikmati sunset begitu pula tempat untuk menikmati matahari keluar dari peredarannya di pagi hari.
Lobster, gurita, ikan-ikan karang berlimpah ruah di pulau tersebut. Bersabablah pada itu. Sebagian besar dari masyarakatnya memilih untuk melaut walaupun bila suatu sa’at nanti akan harus bernasib seperti pemuda yang akan menikah bulan depan tersebut. Namun jikalau tiada usaha sudah pastinya tiada akan mendapat apa-apa.
“Dddddrrrrrrrring, drrrrrrrrrrinnnnnnnng,” Handphone yang ada di tangan dara berwajah kusut tersebut berbunyi. Pada kali yang ketujuh dari bunyinya tersebut barulah dijawab akan panggilan handphone itu. “Assalamu’alaikum, dik Eka? ini abang!” pada sa’at suara khas yang sangat ia nya kenal itu bertutur dengannya. Maka bergantilah kusut di wajah itu dengan keceriaan yang tiada bisa diungkapkan dengan kata-kata pada diri dara tersebut.
“Abang, abang, ini abang?” Bahawa dengan mendengar suara tadi dan seketika ia nya kembali bertanya kepada si penelpon. Maka daripada itu terasalah kembali olehnya akan angin manja dari pulau aceh dan untuk kali ini hembusan-hembusan dari pulau kedua terujung setelah Pulo Rondo tersebut semakin terasa merasuki bahkan menusuk relung pori-pori sungguh tiada ampun.
“Iya, Dik, ini Abang. Alhamdulillah abang sehat, Apachek juga sehat. Ini baru sahaja turun dari kapal pembawa minyak. Sekarang di Malaysia dan sudah berada di Kantor Kedutaan Besar Indonesia untuk Malaysia,” Bit Cut meyakinkan dara yang sangat ia cintai itu. Dan si perempuan itulah yang ia beritahu dan ditelponnya pertama sekali setelah kurang lebih dua pekan ia nya tiada khabar. Perihal nomor handphonennya Eka, jelas tersimpan di dalam memori kepala.
Dari percakapan yang hampir memakan waktu setengah jam tersebut, diketahuilah sekilas tentang bagaimana kejadian hayutnya mereka. Bahawa kapal asing pembawa minyak yang memberi pertolongan pada sa’at itu, setelah lima hari terombang-ambing di tengah-tengah lautan luas tersebut. Dan kapal itu bertujuan ke Singapura.
Azhari/Bit Cut dan Ekawati sudah tiga tahun menikah, mereka menetap di Pulo Aceh. Dan Eka pun sudah melebur dalam kebiasaan-kebiasaan adakala adat, budaya dan lainnya dari kehidupan masyarakat pulau tersebut. Adapun ianya (Eka) berasal dari Kota Utara. Angin manja dari Pulo Aceh kini sudah menyatu dengannya.          
“Alhamdulillah ya Allah, sampai kapan pun aku tiada akan pernah lupa untuk bersyukur kepadamu,” Ekawati membatin di dalam hati sembari menemani anak perempuan imut, cantik sekaligus akan membuat geram bagi siapa sahaja yang memandangnya. Dan gadis kecil  itu bernama Raisa.

Cerpen ini sudah pernah dimuat di Portalsatu.com.

Post a Comment

0 Comments