2016


Foto@Lodin LA

2016
Oleh; Syukri Isa Bluka Teubai

“Ddddddrrreerrrrrrhggh”. Suara letusan ketapel Ata, menembakkan ketapelnya ke arah burung bangau yang sedang terbang melintasi alam.
“Beh pu ka pusue nyan, Ta (Tembak apa itu, Ta)?” Aman menyapa Ata yang sedang menembakkan ketapelnya itu.         
Sayup-sayup, suara angin begitu riuh meniup ilalang panjang di sawah luas terbentang “Blang Panyang” nama tempat di mana sekarang mereka berada. Hari libur, menjamu kebosanan. Empat sekawan itu menjamu akan kebosanan di hamparan kuning kehijauan itu. Walaupun sekarang musim hujan, tapi Blang Panyang tersebut masih sahaja kering menghadirkan keretakan bercelah di situ.
APB dan A, singkatan dari huruf awal nama mereka. Masih remaja apalagi berdarah muda. Baru tahu menahu tentang modern. Yaitu masa-masa yang menghadirkan kemajuan. Empat sekawan pun dengan singkatan nama keren mereka. Kelompok geng kecil APBA.
“A yang pertama adalah singkatan dari nama panjang Atake. Atake Bin Ifrid.”
“P yang kedua adalah singkatan dari nama kawan mereka dengan nama lengkapnya Pungo Bit. Pungo Bit Bin Wailon.
“B kawan ketiga adalah singkatan dari nama lengkapnya Bakai Gata. Bakai Gata Bin Bakhenan.”
“A yang terakhir adalah singkatan dari Aman. Aman Bin Makmue.”         
Ada-ada sahaja perangai anak muda sekarang. Keren sangat dalam menyingkat akan nama mereka menjadikan nama sebuah geng kecil APBA.         
“Abeh aneuk-aneuk pusue mantong hana jeuet meukeubuet pih nyan (Habis peluru ketapel takkan pun bermanfa’at akan itu),” Pungo mengingatkan lagi akan Ata.         
Si Ta masih sahaja dengan tembakan ketapelnya ke arah burung-burung berwarna putih. Tiada peduli akannya tentang perkataan-perkataan sahib karibnya itu. Ata memiliki tekad yang bersahaja. Sekali dia berkata, pasti akan berbuat. Begitu melekat sang tekat yang terwaris kepadanya oleh darah ayahnya Ifrid.         
Sejenak hening, mereka makin larut dengan kesibukan masing-masing.
“Engak-Engak-Engak.” Salah satu burung bangau itu kena akan tembakan ketapel si Ta. Berputar-putar akan makhluk itu semakin rendah dan tergeletak di atas tanah berilalang kekuningan.
“Nyan, kon ka keuneng jih, ka eu (Nah, lihat burung ini sudah kena),” Ata meyakinkan kawannya sambil menimang burung malang itu.         
“Nyan ka ku pateh (Itu baru aku percaya),” kata Pungo sambil mendekat ke arah Ata. Diikuti oleh dua kawan satu geng itu.         
Setelah beberapa menit bercakap-cakap. Muka mereka basi pucat terlihat akan kebingungan mulai merona di wajah-wajah tiada berdosa itu. Mereka terdiam seakan membisu di pikiran tergambar kebodohan. Untuk apa burung ini diketapel, memakan pun tiada bisa. Takut akan beracun.         
Orang-orang terdahulu berkata, “Burung bangau itu memiliki dua sisi tubuh yang berbeda. Satu kebiruan dan di sisi yang lain seperti biasa.” Masih muda, belum berpengalaman. Sungguh ini adalah kejanggalan dan adalah sebuah tantangan.         
“Mahu dimakan takut beracun. Tiada memakan itu mahu nak bawa ke mana, bingung,” Aman dalam gumannya.         
Kata-kata peutua terdahulu masih melekat di benak remaja muda ini.
Di zaman modern seperti sekarang, termasuk langka akan seperti mereka itu. Yang masih menjaga petuah-petuah peutua terdahulu. Merekalah luar dari biasanya.
“Jadi kiban teuman nyoe ile (Jadi bagaimana ini)?” Suara harap resah dari salah seorang kawan bernama Aman.
Aman adalah seorang remaja santun, setiap kejanggalan yang berlaku dan dia berada di situ. Akanlah dia yang punya gundah berlebihan. Mahunya cuma pada kebaikan-kebaikan sahaja. Tiada mahu bersengketa apalagi bersandiwara.
Atake, Pungo dan Bakai pun masih terdiam. Senantiasa memperhatikan burung bangau yang sudah menjadi bangkai.
“Burung bernasib malang,
Tiada lagi bisa di langit melintang,
Mati, sudah tiada bisa lagi terbang,” Aman menggigit bibir setelah sebait kesedihan keluar dari mulutnya. Sedih benar akan si Aman ini.
Jikalau melihat akan kegigihan dari Atake, sungguh sangat baik untuk dicontohkan. Tiada akan pernah menyerah ianya sebelum mendapatkan akan apa yang dicita-citakan, (seperti menembak bangau tadi).
Dan empat sekawan pun menempati akan “Rangkang Blang” tersebut, serta dibawanya seekor bangau mati itu.
Beberapa puluh menit terlewati, masih belum adanya jalan keluar yang terpikir. Sehingga mereka pun tertidur di atas aleue trieng -lantai bambu-  rangkang blang tersebut.
Tiada berakal akan geng APBA tersebut untuk mencari jalan keluar daripada menyelesaikan sabab masalah yang dicari-cari itu. Hari libur tiada kegiatan, menjamu kebosanan. Ke padang ilalang mahu membuang sepi kejenuhan akan tetapi malah persoalan yang didapatkan.
“Akanlah sekalian kita wahai handai taulan semuanya, mari sama-sama berpikir akan APBA untuk menemui jalan keluar. Jangan hanya berdiam diri sahaja, seakan tiadalah kita punya andil tanggung jawab akannya APBA,” teriak Aman.
Terbangun dari tidurnya, terkejut oleh sabab belalang yang singgah di hidung mancung si Aman remaja santun akan perangainya itu. Sembari melihat bangkai burung bangau tadi, tiada lagi bertempat di tempat pertama diletakkan. Ke segala arah dicari oleh matanya tiada di jumpai juga.
Bertambah dengan kegundahan di dalam hatinya, dan dia masih mendapati diri itu berada di dalam kamar rumah orang tuanya tuan Makmu. Dia bermimpi. Benar-benar bermimpi di malam minggu itu.
“Pu keuh lumpoe nyoe nyata keu singeh uroe (Apakah mimpi ini akan menjadi kenyataan di keesokan hari)?” Dia berguman sendiri di sela-sela mengingat mimpinya tadi, kerana memang besok mereka “APBA” sudah berencana untuk pergi ke Blang Panyang tersebut.
Dan setelah berpikir tentang perkiraannya, oleh sabab mimpi. Aman pun kembali merebahkan badannya di atas pembaringan itu. Kerana tiadanya tahu pasti akan apa yang esoknya berlaku. Sejenak, langsung ianya terlelap. Pasti tiada berharapnya lagi akan mimpi, apalagi untuk sekalian janji-janji yang tiada pernah kunjung terpenuhi.

Cerpen ini sudah dimuat di Portalsatu.com

Post a Comment

0 Comments