Ilustrasi@Syukriisablukateubai
BAK JAMPEE ITAM
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai
“Tersentak tubuh, saya merasa dingin dan
terus kedinginan itu masuk mengalir bersamaan dengan aliran-aliran darah yang
mengaliri urat-urat di dalam tubuh. Pohon tua besar tepat di hadapan saya,
dengan seketika langkah seperti terhitung seribu. Terus berlari, tiram-tiram terinjak
menusuk kaki tidak peduli. Sesampainya di hadapan pintu rumah, tidak terasa pintu
itu copot terdobraki oleh saya. Dengan suara yang keras saya memanggil-manggil
mamanya si Laila,” Apa Ma’un terdiam.
“Lailiii, Laili ka tuloeng, ka tuloeng long Laili (Laili tolong, tolong saya
Laili).”
Dengan
sekejap tetangga pun berdatangan kerana mendengar keriuhan, ada yang membawa
parang di tangan dan kayu-kayu kentongan.
“Pu
ilee nyoe? Pu ilee nyoe? (Ada apa ini? Ada apa ini?),” Suara Tengku Raman memecahkan kegaduhan.
“Saya tidak tahu Tgk Raman, tiba-tiba
sahaja sudah begini kejadiannya,” istri apa Ma’un pun menjawab.
“Apa yang telah berlaku padamu Ma’un?”
Tgk Raman bertanya kepada bang Ma’un sambil mengangkat ramai-ramai tubuhnya
yang basah dan masih tergeletak di lantai, kemudian didudukkan bersandar ke dinding supaya ia lebih tenang.
“Saya melewati pohon tua itu dan melihat
ada penampakan di sana,” apa Ma’un menjawab.
“Astaghfirullahal ‘azdhim.”
“Astaghfirullahal ‘azdhim,” Tiga kali kata-kata istighfar keluar dari
mulut Tgk Raman, para warga dan tetangga barulah tenang hatinya setelah tahu
tentang apa yang terjadi. Hasan melirik jam yang ada di tangannya, dan jarum
di situ menunjukkan angka tiga pada malam Jum’at itu.
Tiga
gelas air putih tidak terasa sudah habis diminum oleh bang Ma’un, namun
badannya masih gemetaran. Padahal baju basah di badan sudah digantikan dan tiga
selimut tebal sudah menyelimuti tubuhnya, tapi masih juga gemetaran.
Sesa’at,
nek Puteh sudah hadir di hadapan bang Ma’un. Para warga paham benar tentang itu,
kalau ada dari mereka yang melihat penampakan di pohon tua itu, nek Puteh lah solusi
pertama.
Kepala
bang Ma’un dipegang, mantra-mantra rajah terus dibacakan. Terlihat komat kamit
mulutnya dengan sesekali dihembus ke arah bang Ma’un akan itu hembusan. Selang
beberapa menit bang Ma’un pun merasa tenang, gemetaran pun hilang. Namun bibir pucat
dengan aura wajah yang masih menyimpan sejuta ketakutan.
Nek
Puteh meminta izin pulang dan diantar oleh beberapa warga. Memang begitunya nek
Puteh, terkenal ta’at beribadah kepada Allah. Mempunyai ilmu kanuragan yang
tinggi, tidak sombong dan baik hati. Umurnya sudah mencapai seratus satu tahun, namun masih terlihat
sehat hanya berteman tongkat.
Nek
Puteh adalah seorang perempuan. Masih terlihat cantik walau sudah pada umur
demikian. Rambut lurus panjang sampai ke pinggang, semuanya putih beruban. Sirih
adalah santapan kesukaan. Sehelai kain batik selalu menyelimuti kepala dan
tubuhnya ke mana pun ia pergi.
Setelah
mengobati seseorang ia tidak punya komentar, berbeda dengan tukang-tukang
rajah yang lain, yang punya banyak komentar dan persyaratan. Sedangkan ia
tidak demikian. Cuma hanya berkata “Neu
meulake bak Allah, Allah njang bie, Allah njang cok (Mohon kesembuhan pada
Allah, Allah yang memberi penyakit, Allah juga yang menyembuhkan),” Itulah
kata-kata sederhana yang seringkali didengar sehabis mengobati seseorang.
Dari
situlah mulanya bang Ma’un sakit-sakitan, begitu cepat. Genap pada hari yang ke
tujuh dari hari sakitnya itu, iapun pergi meninggalkan dunia ini untuk
selama-lamanya. Kenang Burhan, ia itu tetangga dan family bang Ma’un yang
malang.
Memanglah
kejadian ini menyisakan banyak pelajaran. tetapi, apa mahu dikata, bak jampee
hanyalah bak jampee. Walaupun demikian, percayalah bahwa setiap yang terjadi
memang sudah kehendak Ilahi. Kita hanya manusia biasa, langkah, rezeki, jodoh
dan maut Allah lah yang tentukan, tiada
yang lain.
Usman
pun menceritakan hal yang sama kepada rakan-rakan kelompok ronda pada malam
itu, masih dengan pohon besar tua.
“Bang Lah terus melangkah dengan jala
di tangan, menapaki aliran-aliran sungai, sesekali jala itu dilempar ke sungai
dengan hati riang. Wajah nampak senang, karena hasil tangkapannya. Haripun baru
beberapa menit melewati pertengahan dan sekarang “Pah cot uroe timang” (Hampir waktunya shalat zhuhur, kira-kira jam
12:45 Wib siang itu)” Usman terus berkata-kata.
“Dari kejauhan ia melihat sekelompok
ikan-ikan bandeng besar di muara sungai, timbul rasa bahagia terbesit di hati.
Terus ikan-ikan itu membawanya ikut, diikuti dan terus bang Lah mengikuti ikan
itu. Tepat di bawah pohon tua ikan itu berhenti, bang Lah pun dengan sigapnya
melempar jala,” Lelaki berambut cepak itu masih berkata-kata.
“Dua ikan bandeng besar sudah
didapatnya,hasil dari menjala pertama kali. Terus bang Lah dengan jalanya,
kendatipun sudah beberapa kali ia melempar jala di situ. Ikan-ikan tidak lari
dan tetap masih berdiam diri di tempatnya,” semua mereka yang berada di pos Jaga itu terlihat sangat serius mendengar hikayah Usman.
“Sebelas ekor ikan bandeng besar sudah
ditangkap, iapun mengakhiri penjelajahannya siang itu, dengan riang bang Lah
pulang ke rumah, berboncengan motor merk supraX nya. Bang Lah bukanlah warga
kampung pohon tua itu. Adalah ia warga yang tinggal setelah beberapa kampung
dari tempat adanya bak jampee itam,” Usman masih terus berkata-kata.
“Beberapa hari kemudian tersiarlah kabar
bahwa ia sakit keras, rasa panas yang dialami merontokkan rambut-rambut di
kepalanya. Sampai pada sa’at Saya mengunjunginya, hanya tersisa beberapa
tumpukan rambut di kepala itu,” Adapun kala itu Usman ingin memastikan benar haq nya
kabar tersebut pada waktu itu.
Usman
adalah satu-satunya peternak sapi di kampung Belukar, ia tidak berani melaut.
Katanya, “melaut itu susah, bagaikan menjemur nyawa di ujung rambut. Tidak ada
tempat berpijak, berpegangan, apalagi untuk singgah sebentar di sana,” Inilah
kesimpulan dari pengalaman sehari dan sekali dalam hidupnya melaut.
Bersambung..........(Bagian T3).
0 Comments