Bak Jampee Itam (Bagian D2)


Ilustrasi@Syukriisablukateubai

BAK JAMPEE ITAM
Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai

“Tersentak tubuh, saya merasa dingin dan terus kedinginan itu masuk mengalir bersamaan dengan aliran-aliran darah yang mengaliri urat-urat di dalam tubuh. Pohon tua besar tepat di hadapan saya, dengan seketika langkah seperti terhitung seribu. Terus berlari, tiram-tiram terinjak menusuk kaki tidak peduli. Sesampainya di hadapan pintu rumah, tidak terasa pintu itu copot terdobraki oleh saya. Dengan suara yang keras saya memanggil-manggil mamanya si Laila,” Apa Ma’un terdiam.

“Lailiii, Laili ka tuloeng, ka tuloeng long Laili (Laili tolong, tolong saya Laili).”

Dengan sekejap tetangga pun berdatangan kerana mendengar keriuhan, ada yang membawa parang di tangan dan kayu-kayu kentongan.

Pu ilee nyoe? Pu ilee nyoe? (Ada apa ini? Ada apa ini?),” Suara Tengku  Raman memecahkan kegaduhan. 

“Saya tidak tahu Tgk Raman, tiba-tiba sahaja sudah begini kejadiannya,” istri apa Ma’un pun menjawab.

“Apa yang telah berlaku padamu Ma’un?” Tgk Raman bertanya kepada bang Ma’un sambil mengangkat ramai-ramai tubuhnya yang basah dan masih tergeletak di lantai, kemudian didudukkan bersandar ke dinding supaya ia lebih tenang.

“Saya melewati pohon tua itu dan melihat ada penampakan di sana,” apa Ma’un menjawab.

“Astaghfirullahal ‘azdhim.”

“Astaghfirullahal ‘azdhim,” Tiga kali kata-kata istighfar keluar dari mulut Tgk Raman, para warga dan tetangga barulah tenang hatinya setelah tahu tentang apa yang terjadi. Hasan melirik jam yang ada di tangannya, dan jarum di situ menunjukkan angka tiga pada malam Jum’at itu.

          Tiga gelas air putih tidak terasa sudah habis diminum oleh bang Ma’un, namun badannya masih gemetaran. Padahal baju basah di badan sudah digantikan dan tiga selimut tebal sudah menyelimuti tubuhnya, tapi masih juga gemetaran.

Sesa’at, nek Puteh sudah hadir di hadapan bang Ma’un. Para warga paham benar tentang itu, kalau ada dari mereka yang melihat penampakan di pohon tua itu, nek Puteh lah solusi pertama.

          Kepala bang Ma’un dipegang, mantra-mantra rajah terus dibacakan. Terlihat komat kamit mulutnya dengan sesekali dihembus ke arah bang Ma’un akan itu hembusan. Selang beberapa menit bang Ma’un pun merasa tenang, gemetaran pun hilang. Namun bibir pucat dengan aura wajah yang masih menyimpan sejuta ketakutan.

          Nek Puteh meminta izin pulang dan diantar oleh beberapa warga. Memang begitunya nek Puteh, terkenal ta’at beribadah kepada Allah. Mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi, tidak sombong dan baik hati. Umurnya sudah mencapai seratus satu tahun, namun masih terlihat sehat hanya berteman tongkat.

          Nek Puteh adalah seorang perempuan. Masih terlihat cantik walau sudah pada umur demikian. Rambut lurus panjang sampai ke pinggang, semuanya putih beruban. Sirih adalah santapan kesukaan. Sehelai kain batik selalu menyelimuti kepala dan tubuhnya ke mana pun ia pergi.

Setelah mengobati seseorang ia tidak punya komentar, berbeda dengan tukang-tukang rajah yang lain, yang punya banyak komentar dan persyaratan. Sedangkan ia tidak demikian. Cuma hanya berkata “Neu meulake bak Allah, Allah njang bie, Allah njang cok (Mohon kesembuhan pada Allah, Allah yang memberi penyakit, Allah juga yang menyembuhkan),” Itulah kata-kata sederhana yang seringkali didengar sehabis mengobati seseorang.

          Dari situlah mulanya bang Ma’un sakit-sakitan, begitu cepat. Genap pada hari yang ke tujuh dari hari sakitnya itu, iapun pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Kenang Burhan, ia itu tetangga dan family bang Ma’un yang malang.

          Memanglah kejadian ini menyisakan banyak pelajaran. tetapi, apa mahu dikata, bak jampee hanyalah bak jampee. Walaupun demikian, percayalah bahwa setiap yang terjadi memang sudah kehendak Ilahi. Kita hanya manusia biasa, langkah, rezeki, jodoh dan  maut Allah lah yang tentukan, tiada yang lain.

          Usman pun menceritakan hal yang sama kepada rakan-rakan kelompok ronda pada malam itu, masih dengan pohon besar tua.

“Bang Lah terus melangkah dengan jala di tangan, menapaki aliran-aliran sungai, sesekali jala itu dilempar ke sungai dengan hati riang. Wajah nampak senang, karena hasil tangkapannya. Haripun baru beberapa menit melewati pertengahan dan sekarang “Pah cot uroe timang” (Hampir waktunya shalat zhuhur, kira-kira jam 12:45 Wib siang itu)” Usman terus berkata-kata.

“Dari kejauhan ia melihat sekelompok ikan-ikan bandeng besar di muara sungai, timbul rasa bahagia terbesit di hati. Terus ikan-ikan itu membawanya ikut, diikuti dan terus bang Lah mengikuti ikan itu. Tepat di bawah pohon tua ikan itu berhenti, bang Lah pun dengan sigapnya melempar jala,” Lelaki berambut cepak itu masih berkata-kata.

“Dua ikan bandeng besar sudah didapatnya,hasil dari menjala pertama kali. Terus bang Lah dengan jalanya, kendatipun sudah beberapa kali ia melempar jala di situ. Ikan-ikan tidak lari dan tetap masih berdiam diri di tempatnya,” semua mereka yang berada di pos Jaga itu terlihat sangat serius mendengar hikayah Usman.

“Sebelas ekor ikan bandeng besar sudah ditangkap, iapun mengakhiri penjelajahannya siang itu, dengan riang bang Lah pulang ke rumah, berboncengan motor merk supraX nya. Bang Lah bukanlah warga kampung pohon tua itu. Adalah ia warga yang tinggal setelah beberapa kampung dari tempat adanya bak jampee itam,” Usman masih terus berkata-kata.

“Beberapa hari kemudian tersiarlah kabar bahwa ia sakit keras, rasa panas yang dialami merontokkan rambut-rambut di kepalanya. Sampai pada sa’at Saya mengunjunginya, hanya tersisa beberapa tumpukan rambut di kepala itu,” Adapun kala itu Usman ingin memastikan benar haq nya kabar tersebut pada waktu itu.


Usman adalah satu-satunya peternak sapi di kampung Belukar, ia tidak berani melaut. Katanya, “melaut itu susah, bagaikan menjemur nyawa di ujung rambut. Tidak ada tempat berpijak, berpegangan, apalagi untuk singgah sebentar di sana,” Inilah kesimpulan dari pengalaman sehari dan sekali dalam hidupnya melaut. 

Bersambung..........(Bagian T3).

Post a Comment

0 Comments