Syukri Isa Bluka Teubai tengah memancing di pelabuhan Keumalahayati, Krueng Raya. Aceh Besar, Banda Aceh.
Foto; @Lodin LA
Yang Berbeda Membedakan Kita
Oleh; Syukri Isa Bluka Teubai
Belum sampai dua puluh tahun damai tersemai di atas tanah Aceh ini, belum pun satu generasi muda, masa dua puluh tahun terlewati. Akan goncangan di dalam damai ini terus terjadi. Kenapa begitu? Keranalah itu sabab sendiri, orang lain hanya memantik sahaja.
Dua ribu delapan belas dan hari ini, Senin, tanggal 16 April 2018. Seakan di ladang masalah hampir panen, ya, kita tengah menuai panen masalah. Orang orang politik itu, memang keharusan menciptakan segala sesuatu yang berkaitan dengan politik.
Fitnah menfitnah, benci membenci dan segala sesuatu yang negatif itu adalah bukan politik sehat, bahkan tidak ada hal hal yang demikian tertera di dalam bab politik apalagi pelakon politik tersebut seorang muslim yang beriman lagi bertaqwa.
Namun hari ini, di tanah Aceh tercinta. Di atas tanah tumpah darah para indatu dahulu tak kala melawan penjajah penjajah tercela. Sampai dengan hari ini di atas tanah ini, huru hara masih sahaja terjadi bahkan di beberapa hari terakhir, setelah sebuah kebijakan keluar dari seorang penguasa yang ia bukanlah pemimpin yang dapat dicontohi apalagi untuk diteladani.
Katanya demi kebaikan, kebaikan apa? Atas dasar apa berhingga akan kebaikan yang seperti itu harus sekali untuk diwujudkan, atas dasar apa? Dan agama, manusia yang hidup di muka bumi ini semuanya punya agama masing masingnya juga mempunyai hukum hukum tersendiri, dan punya cara masing masing pula untuk menerapkan, menjalankan anjuran dan larangan tersebut.
Yang membedakan kita berbeda itu adalah kerana agama, adalah agama sebagai pembeda, manusia dunia semua sama, hanya sahaja payung payung hukum dunia internasional masih berada di dalam genggaman tangan yang kiri, belum kanan. Islam dan Aceh juga yang membuat kita berbeda dari mereka yang bertangan kiri.
Di masa raja raja yang keturunan mereka itu terjaga dan tak kala Aceh masih berdaulat, dahulu. Ulama adalah tempat bahagi para sekalian raja raja itu untuk meminta pertimbangan akanpada setiap keputusan, akan kebijakan yang nak diberlakukan, semuanya atas dasar musyawarah bersama terutama dengan para ulama.
Raja raja yang keturunan mereka itu terjaga, masih sahaja menghargai para ulama, di masanya. Tapi adalah sebaliknya yang sudah terjadi di Aceh hari ini. Akan keadaan di Aceh apalagi di beberapa hari terakhir ini, sudahlah sangat kacau sekali, sudah sangat sangat tak menentu. Para ulama tak dihargai lagi, sangat tidak dihargai lagi. Aceh hari ini sudah dibuat sebagaimana keinginan si penguasa.
Seperti sang penguasa itu, sudah lupa diri, ia pikir hari ini tidak ada lagi akan ulama ulama yang mereka itu pewaris nabi di atas tanah Aceh ini, akan orang orang baik di atas tanah Aceh ini, akan generasi generasi muda penerus Bansa yang akan memprotes keras atas segala kebijakan yang tidak berdasarkan dasar dasarnya. Walaupun di kenyataannya ada dan itu hanya beberapa orang sahaja yang terus masih membela penguasa yang sudah jelas jelas melakukan kesalahan.
Qanun Aceh, perlu diketahui bersama dan untuk pengetahuan semuanya duhai handai taulan orang orang Aceh yang beriman lagi bertaqwa kepada Allah Ta’ala, duhai orang orang yang suka membantu siapa sahaja tanpa pamrih bahpun pada akhirnya dikhianati, dikhianati, kita dikhianati sampai kepada anak anak keturunan kita dihabisi, duhai Bansa Aceh tercinta, untuk mendapatkan Qanun Aceh itu tidaklah mudah.
Kita tahu kan, ribuan orang tak berdosa mati sia sia, anak anak perempuan kita diperkosa, ibu, bapak kita dianiaya, karib kerabat kita di hadapan mata dijemput paksa sampai mayat mayatnya pun tak berimba, masih segarkah itu di pikiran kita semua, masihkah segar? Bagaimana kita bisa, apa katanya itu “move on”? Heh, bagaimana kita bisa beranjak dari ingatan itu, sedangkan sampai dengan hari ini akan kepedihan rasa masih diobok obok di ulu hati.
Qanun Aceh, kita sudah punya qanun sendiri hari ini, oleh kerana perjuangan mereka, perjuangan orang orang yang ikhlas berkorban, orang orang yang rela mati, orang orang yang rela hidup jauh dengan anak istri, bahpun nyawanya menjadi taruhan ukhrawi. Tolong bedakan mereka yang oleh kerana dililit hutang, yang oleh kerana laporan kejahatannya bahkan yang oleh kerana sabab ke ku’eh-annya berhingga terpaksa wajib sok sok-an bergabung ke dalam barisan pejuang, tolonglah bedakan mereka dengan pejuang dan panglima sejati.
Maka gilalah ia, siapa sahaja ia, gilalah dirinya yang mencoba mengobrak abrik akan Qanun yang sudah ada tersebut. Seperti hari ini, wajarlah setiap orang Aceh merasa gerah dan melontarkan sumpah serapah kepada si penguasa yang tak beradap itu, sangatlah wajar. Ya, kerana kesalahannya sendiri.
“Ini Aceh, ke tempat lain sahaja kita beramai ramai pergi untuk membela islam. Apalagi untuk membela, menjaga isi rumah sendiri. Mustahil lah itu dan sendiri pun kita akan membela haq kita sendiri apalagi jika kita sudah bersama sama!”
Mari bersatulah kita demi melawan kezhaliman dunia, dan teruslah berusaha keras untuk bisa berkata; yang salah tetap salah dan yang benar itu sudah pastilah benar ianya. Kita hanya bisa berdo’a kepada Allah Ta’ala, semoga huru hara di negeri ini akan segera usai dan kita akan hidup di dalam damai kembali, semoga!
“Setiapa manusia punya salah, berhati hatilah dengan giliran kita sendiri!”
Syukri Isa Bluka Teubai, penyuka sastra.
0 Comments